Politisasi Bencana Alam dan Matinya Empati Kaum Radikal

Politisasi Bencana Alam dan Matinya Empati Kaum Radikal

- in Narasi
449
0
Politisasi Bencana Alam dan Matinya Empati Kaum Radikal

Di penghujung tahun 2022 bencana alam kembali terjadi. Kali ini Kabupaten Cianjur digoyang gempa 5, 6 skala richter pada Senin 21 Oktober lalu. Sampai saat ini tercatat 185 orang meninggal, 7 ribu mengalami luka dan 70 ribu lainnya hidup di pengungsian dengan penuh keterbatasan. Bencana alam memang selalu menyisakan persoalan kemanusiaan.

Ironisnya, di tengah suasana prihatin itu bermunculan narasi yang bertendensi memprovokasi dan mempolitisasi gempa Cianjur. Di media sosial, baru-baru ini beredar video memperlihatkan seseorang tengah mencopot tulisan dan label gereja di tenda pengungsi. Usut punya usut logo dan tulisan di tenda itu dicopot lantaran dianggap sebagai kristenisasi terselubung.

Di saat yang sama, media sosial juga diramaikan oleh narasi yang menyebut bahwa gempa khilafah adalah peringatan Allah pada penguasa dan bangsa Indonesia yang tidak menerapkan syariah Islam dan khilafah Islamiyah. Kanal YouTube, “Khilafah News” misalnya yang memang dikenal sebagai propagandis khilafah merilis sebuah video berjudul “Gempa Cianjur Kode Keras untuk Penguasa”. Video yang dikemas ke dalam talkshow tanya jawab itu cenderung tendesius.

Ada setidaknya empat poin problematik dalam video tersebut. Pertama, dikatakan bahwa banyaknya gempa Cianjur merupakan salah pemerintah yang tidak menyediakan fasilitas umum tahan gempa. Kedua, dikatakan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah selama ini yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak bencana. Ketiga, dikatakan bahwa pemerintah tidak menyediakan dana cukup untuk penanganan bencana, dan justru dialihkan untuk kegiatan lain. Keempat, dikatakan bahwa khilafah adalah model negara yang paling siap menghadapi bencana.

Pola provokasi dan politisasi pada momen bencana alam adalah hal yang sangat tidak etis. Di tengah situasi bencana, para korban membutuhkan simpati dan empati baik berupa dukungan moril maupun materiil. Sikap provokatif dan politis dengan menebar isu serta narasi menyesatkan tidak akan menyelesaikan persoalan, alih-alih justru menambah persoalan. Narasi provokasi dan politisasi bencana alam mau tidak mau harus dibendung. Jika tidak, keutuhan masyarakat akan menjadi taruhannya.

Empat Langkah Membendung Narasi Provokasi dan Politisasi

Langkah pertama yang wajib dilakukan ialah membudayakan kesadaran saintifik dalam memahami dan memaknai bencana alam. Masyarakat harus terbiasa memahami bencana alam sebagai fenomena saintifik yang berkaitan dengan faktor-faktor ekologis. Kesadaran ini di satu sisi akan meningkatkan kewaspdaan masyarakat terhadap bencana sekaligus akan menghindarkan masyarakat dari provokasi dan politisasi bencana.

Pemerintah dan lembaga terkait perlu menanamkan kesadaran bahwa secara geografis Indonesia terletak di wilayah rawan bencana, terutama gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan sejenisnya. Dalam konteks gempa bumi misalnya, sebagia besar wilayah Indonesia berada di titik temu tiga lempeng bumi, yakni lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Laut Filipina. Ditambah lagi, kawasan Indonesia berada di lintasan Ring of Fire yang rawan letusan gunung berapi.

Literasi kebencanaan ini sangat penting sebagai langkah mitigasi untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan akibat bencana alam.

Langkah kedua ialah memperkuat solidaritas kebangsaan di tengah bencana. Solidaritas kebangsaan dimaknai sebagai komitmen untuk merasakan penderitaan (bersimpati) kelompok lain sekaligus hadir dalam meringankan beban mereka (berempati). Solidaritas lintas golongan suku, etnis, agama, dan afiliasi politik ini penting agar situasi bencana tidak menjadi ajang provokasi dan pecah-belah. Sebaliknya peristiwa bencana seharusnya menjadi momentum untuk mempererat komitmen solidaritas kebangsaan.

Di momen bencana seperti saat ini, bantuan kemanusiaan bisa datang dari siapa dan kelompok mana saja. Di satu sisi, pihak pemberi bantuan kiranya bisa menahan diri untuk tidak terlalu membawa apalagi menonjolkan sentimen identitas dan kepentingannya. Di sisi lain, para korban yang merupakan penerima bantuan idealnya tidak perlu curiga terhadap bantuan yang datang dari kelompok lain. Sikap rendah hati dan ketulusan sangat diperlukan dalam suasana yang penuh keprihatinan ini.

Langkah terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah membangun konstruksi masyarakat tangguh bencana. Selama ini, harus diakui masih ada sejumlah kekurangan dalam penanganan bencana, baik pada fase prabencana, pada saat bencana dan pasca-bencana. Kekurangan itu kiranya bisa diperbaiki manakala masyarakat, pemerintah, dan stakeholder terkait mampu menjalin sinergi dan kerjasama.

Persoalan kebencanaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun juga seluruh komponen bangsa, mulai dari masyarakat sipil, lembaga keagamaan sampai oganisasi kemasyarakatan. Masyarakat tangguh bencana akan memiliki mekanisme dalam mitigasi bencana sehingga tidak mudah disesatkan oleh narasi-narasi yang politis dan provokatif.

Facebook Comments