Belakangan ini, Indonesia dihantui oleh gelombang demonstrasi yang mengguncang berbagai kota besar. Tuntutan yang diangkat oleh para pengunjuk rasa, baik mahasiswa maupun buruh, seolah mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola ekonomi secara adil dan berkelanjutan.
Tiga lembaga pemikir ekonomi ternama seperti CORE Indonesia, INDEF, dan The Prakarsa bahkan merilis pernyataan sikap yang menyatakan bahwa gelombang aksi ini adalah akibat dari kebijakan fiskal yang tidak tepat, tingginya angka PHK, serta pengabaian terhadap masalah struktural dalam perekonomian Indonesia.
Demokrasi bukanlah sistem yang harus dijadikan kambing hitam atas setiap ketimpangan yang ada. Demokrasi adalah landasan yang memberi ruang bagi perbedaan pendapat dan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Namun, narasi yang muncul sering kali menuduh bahwa kegagalan ekonomi ini adalah akibat dari gagalnya demokrasi itu sendiri.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh CORE, INDEF, dan The Prakarsa tentu bukan tanpa alasan. Mereka menyebutkan beberapa isu utama yang menjadi latar belakang aksi-aksi tersebut, seperti kebijakan pajak yang dianggap memberatkan rakyat, ketimpangan anggaran yang menguntungkan elit, dan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin meluas. Selain itu, pendekatan represif yang diambil pemerintah dalam menghadapi protes hanya memperburuk keadaan, menciptakan kesan bahwa pemerintah menutup mata terhadap keluhan masyarakat.
Namun, perlu diingat bahwa meskipun ada keluhan yang sah terhadap kebijakan ekonomi, kita harus berhati-hati dalam menyikapi narasi yang berkembang. Gelombang demonstrasi ini bukan semata-mata bukti kegagalan demokrasi, melainkan wujud dari ketidakpuasan terhadap kebijakan tertentu yang memang perlu dievaluasi.
Gelombang demonstrasi yang disertai dengan seruan tentang kegagalan demokrasi dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki agenda terselubung. Mereka mungkin saja mendeklarasikan bahwa demokrasi Indonesia telah gagal, namun sejatinya yang mereka serang adalah institusi pemerintahan yang sah. Mereka menggunakan narasi ini untuk memecah belah, memanipulasi kekecewaan publik, dan menciptakan keresahan yang lebih besar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam pemerintahan terdapat oknum yang mungkin terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Namun, musuh kita bukanlah demokrasi itu sendiri, melainkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum-oknum tersebut. Narasi kegagalan demokrasi ini, jika tidak hati-hati, justru akan mengalihkan perhatian kita dari masalah utama yakni tentang ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Di media sosial, ada lebih dari 10 juta unggahan kemarahan publik yang mencerminkan kekecewaan terhadap kondisi ini. Tetapi penting untuk dicatat bahwa meskipun wajar bagi publik untuk meluapkan kemarahan, kita tidak boleh terjebak dalam manipulasi yang berusaha merusak citra pemerintahan yang sah. Narasi kemarahan publik ini harus dikelola dengan bijak, agar tidak jatuh dalam perangkap yang bisa merusak fondasi demokrasi kita.
Indonesia adalah rumah kita bersama. Jika ada kebocoran pada atapnya, kita harus memperbaikinya bersama-sama. Bukan dengan meruntuhkan seluruh bangunan dan membangun rumah baru yang belum jelas bahan dan strukturnya. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga kestabilan negara ini, menjaga demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah, dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada tanpa harus menjatuhkan sistem yang ada.
Pemerintah harus mengelola perbedaan pendapat ini dengan bijaksana, mendengarkan keluhan masyarakat, dan melakukan perbaikan sesuai dengan tuntutan yang sah. Tetapi, kita juga harus menyadari bahwa tidak semua kritik datang dari niat yang tulus. Ada pihak-pihak tertentu yang berusaha memanfaatkan momen ini untuk kepentingan politik mereka. Kita harus waspada terhadap agenda tersembunyi ini, yang dapat merusak kedamaian sosial dan keharmonisan demokrasi yang telah ada.
Tuntutan dari CORE, INDEF, dan The Prakarsa terkait dengan kebijakan fiskal dan ekonomi memang perlu mendapat perhatian serius. Pemerintah harus lebih transparan dalam perencanaan anggaran dan memperhatikan kebutuhan rakyat, bukan hanya memprioritaskan sektor-sektor tertentu yang justru lebih menguntungkan kelompok elit. Misalnya, anggaran pertahanan yang melonjak tajam sementara sektor kesehatan dan pendidikan terus terabaikan, adalah bentuk ketimpangan yang harus segera diperbaiki.
Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan suatu negara bukan hanya terukur dari seberapa besar anggaran yang dikeluarkan untuk sektor-sektor tertentu, tetapi juga dari bagaimana keadilan sosial dan pemerataan ekonomi dapat diwujudkan. Pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil tidak hanya berpihak pada segelintir orang, tetapi juga memperhatikan rakyat yang paling membutuhkan.
Indonesia saat ini sedang mengalami tantangan besar dalam mengelola perekonomiannya. Pemerintah harus terus berkomitmen untuk memperbaiki kelemahan yang ada, bukan dengan merusak sistem yang telah terbentuk. Kita harus bersama-sama memperbaiki kebocoran yang ada pada atap rumah ini, bukan dengan menghancurkannya. Sebagai bangsa, kita harus bersatu dalam menghadapi tantangan ini, menjaga integritas demokrasi, dan berusaha mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan lebih adil.