Banyak survei internasional mengakui bahwa Indonesia lekat nilai-nilai religius dalam setiap denyut nadi warganya. Hampir tidak ada tempat yang luput dari pengaruh agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, pemahaman terhadap agama tidak selalu ditopang dengan fundamen yang kokoh. Ada sebuah pendangkalan yang menciderai masyarakat religius bangsa. Kita bisa sebut itu sebagai fenomena mistifikasi agama.
Fenomena ini semakin terlihat jelas, terutama ketika kelompok fundamentalis mengambil peran dalam ruang sosial dan politik, menjadikan agama secara normatif dapat menjadi solusi semua problem sosial hari ini.
Kelompok fundamentalis seringkali menekankan pemahaman yang kaku dan dogmatis terhadap ajaran agama. Mereka memandang agama sebagai sesuatu yang statis, tertutup dari tafsir dan refleksi yang kontekstual.
Kelompok-kelompok ini mencitrakan sedang menjaga “kemurnian” ajaran agama dengan memegangi simbol-simbol yang mereka anggap sakral, tetapi mereka sering kali lupa pada esensi terdalam agama itu sendiri: menjadi manusia yang jujur, adil, dan penuh kasih sayang.
Mereka terjebak dalam ritualisme dan simbolisme, seakan-akan kesalehan hanya diukur dari seberapa lebar kerudungnya, bukan dari bagaimana ia mempraktikkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupannya.
Dampaknya?
Aktor lama yang kini turut meramaikan mistifikasi agama itu adalah Front Pembela Islam yang kini bersalinrupa menjadi Front Persaudaraan Islam (FPI) dan HTI. Mistifikasi agama, atau pengagungan berlebihan terhadap simbol dan ritual keagamaan tanpa memahami esensinya, menjadi lahan subur bagi kelompok-kelompok seperti FPI dan HTI untuk menyebarkan pengaruhnya.
Mereka sering memanfaatkan ketidakpuasan sosial dan ekonomi masyarakat, menawarkan solusi yang dibalut dalam narasi keagamaan yang tampak menarik bagi mereka yang merasa terpinggirkan. Namun, solusi yang ditawarkan sering kali tidak sejalan dengan semangat kebangsaan dan justru memperdalam jurang perbedaan.
Dalam kasus HTI, simbol agama tidak hanya digunakan untuk memobilisasi massa, tetapi juga memobilisasi dukungan politik. Agama dijadikan alat untuk meraih legitimasi, dan dalam prosesnya, kepentingan agama sering kali dikorbankan demi kepentingan politik. Di balik semua retorika tentang menjaga nilai-nilai religius, kelompok fundamentalis ini sering kali menyelipkan agenda yang justru merusak sendi-sendi kebangsaan.
Isu agama dieksploitasi sedemikian rupa untuk menciptakan identitas yang berbeda, seakan-akan mereka adalah penjaga kebenaran tunggal, sementara kelompok lain dianggap tidak cukup “beriman” atau bahkan sesat.
Pengaruh kelompok-kelompok radikal ini semakin menguat ketika ruang digital menjadi medium yang tak terbendung. Melalui media sosial, pesan-pesan yang bersifat hitam-putih dan penuh provokasi mudah menyebar. Dalam hitungan detik, kampanye-kampanye, webinar, dan forum online lainnya yang mengusung narasi “dogmatis-politis” bisa menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjalankan agama secara lebih inklusif dan damai, tetapi mistifikasi agama yang diperparah oleh kelompok fundamentalis membuatnya semakin sulit. Mereka terus mengobarkan semangat eksklusivisme, menganggap hanya mereka yang benar-benar memegang kunci kebenaran, sedangkan yang lain harus disingkirkan.
Tidak jarang terjadi konflik antar kelompok masyarakat akibat perbedaan tafsir yang semestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara lebih arif. Padahal, jika ditilik lebih dalam, setiap agama pada dasarnya mengajarkan perdamaian, cinta kasih, dan keadilan. Tetapi yang lebih sering tampak adalah kebencian dan permusuhan yang dibungkus dalam argumen-argumen keagamaan.
Bagaimana kita bisa keluar dari jebakan mistifikasi ini?
Mungkin jawabannya ada pada pendidikan agama yang lebih rasional dan mendalam. Saat ini, pendidikan agama di Indonesia cenderung fokus pada hafalan dan pengetahuan formal, tanpa banyak mengupas makna terdalam dari setiap ajaran yang ada.
Anak-anak belajar tentang bagaimana melakukan ritual dengan benar, tetapi mereka jarang diajarkan untuk memahami mengapa ritual itu dilakukan, atau bagaimana nilai-nilai agama bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan agama yang berorientasi pada pemahaman yang kritis dan kontekstual bisa membantu masyarakat untuk memahami agama tanpa terjebak pada simbol-simbol yang superfisial. Agama seharusnya menjadi panduan moral, bukan sekadar alat untuk membedakan diri dari orang lain.
Mereka menolak perubahan bukan karena memahami agama secara menyeluruh, tetapi karena mereka sudah merasa nyaman dengan apa yang mereka yakini. Mereka seolah-olah tidak sadar bahwa agama selalu berkembang sesuai dengan zaman, dan bahwa setiap zaman memerlukan pendekatan yang berbeda dalam memahami nilai-nilai luhur yang diusung oleh agama.