Menyelamatkan Nafas Demokrasi sebagai Perbincangan dari Kesesatan Penyeragaman

Menyelamatkan Nafas Demokrasi sebagai Perbincangan dari Kesesatan Penyeragaman

- in Narasi
41
0
Menyelamatkan Nafas Demokrasi sebagai Perbincangan dari Kesesatan Penyeragaman

Indonesia, negara dengan keberagaman yang luar biasa, telah lama menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Namun, hingga hari ini, kita masih menyaksikan peningkatan intoleransi dan ekstremisme agama yang mengancam fondasi demokrasi kita. Artikel ini akan membahas bagaimana demokrasi Indonesia, yang berlandaskan Pancasila, seharusnya menjadi ruang dialog yang dinamis antar elemen masyarakat yang beragam, bukan arena untuk memaksakan keseragaman dan abai terhadap konteks masyarakat yang dinamis.

Keberagaman sebagai Esensi Pancasila

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, adalah pedoman hidup bangsa yang berdiri di atas sejarah perjuangan bersama keberagaman. Setiap sila dalam Pancasila mencerminkan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila bukan hanya dasar, tetapi juga kompas moral setiap anggota masyarakat yang mengarahkan perjalanan bangsa ini di tengah lautan keberagaman.

Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan berarti Indonesia menganut agama (dan cara beragama) yang tunggal. Sebaliknya, sila ini mengakui keberadaan berbagai kepercayaan dan agama di Indonesia. Ia menjamin kebebasan beragama sekaligus mendorong harmoni antar umat beragama. Sila kedua hingga kelima juga menekankan pentingnya keadilan, persatuan, musyawarah, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam konteks keberagamannya.

Keberagaman dalam Pancasila tidak berhenti pada pengakuan semata. Ia juga mendorong interaksi positif antar kelompok yang berbeda. Sila keempat, misalnya, menekankan musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini berarti bahwa perbedaan pendapat bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan dikelola melalui dialog konstruktif. Prinsip ini menjadi landasan penting bagi demokrasi deliberatif di Indonesia.

Demokrasi sebagai Ruang Dialog Keberagaman

Untuk memahami demokrasi Indonesia yang sesuai dengan sila keempat itu, kita perlu melihatnya melalui lensa Demokrasi Deliberatif yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas. Dalam konteks Indonesia, demokrasi bukan sekadar prosedur pemilihan umum atau kebebasan berpendapat. Ia adalah ruang publik di mana berbagai kelompok masyarakat dapat berdialog, bernegosiasi, dan mencapai konsensus. Demokrasi Indonesia seharusnya menjadi meja diskusi di mana beragam suara dari berbagai pihak dapat saling didengar, bukan sekadar panggung satu arah yang hanya memperkeras suara “mayoritas” sambil meredam yang “minoritas”.

Demokrasi Deliberatif menekankan pentingnya komunikasi dan pertukaran argumen dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks Indonesia yang beragam, ini berarti bahwa setiap kelompok, termasuk minoritas, memiliki kesempatan untuk didengar dan berkontribusi dalam wacana publik. Memang, proses ini tidak selalu mudah atau cepat, tetapi memperkuat demokrasi dengan memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kepentingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyataan sila keempat inilah jantung dari demokrasi yang inklusif dan berkeadilan di Indonesia.

Tantangan Ekstremisme Agama terhadap Demokrasi Indonesia

Sayangnya, visi demokrasi ini mendapat tantangan serius dari kelompok-kelompok intoleran. Kelompok-kelompok ini melihat keragaman sebagai ancaman terhadap apa yang mereka anggap sebagai “kemurnian” agama. Mereka mengejar terhapusnya perbedaan dan berusaha menciptakan masyarakat yang “seragam” berdasarkan interpretasi sempit mereka tentang agama. Pandangan ini bukan hanya bertentangan dengan semangat Pancasila, tetapi juga mengancam keutuhan bangsa.

Pandangan anti-perbedaan ini sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Ia mengancam untuk menggantikan dialog dengan monolog, konsensus dengan pemaksaan. Jika dibiarkan, pandangan ini dapat meracuni pemahaman kita tentang Pancasila dan demokrasi yang dijunjungnya. Dari sana akan tercipta polarisasi yang akan melemahkan kohesi sosial. Kita harus waspada terhadap retorika yang menjanjikan kesatuan melalui penyeragaman, karena ini sering kali adalah langkah pertama menuju otoritarianisme.

Ekstremisme agama juga mengancam untuk mengubah pemahaman tentang demokrasi dari arena pertukaran ide menjadi seperti medan pertempuran ideologi. Ini bertentangan dengan prinsip Pluralisme Agama yang dikemukakan oleh Diana L. Eck, di mana keragaman agama dilihat sebagai kekayaan, bukan ancaman. Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, perbedaan agama justru memperkaya kehidupan bermasyarakat dengan menyediakan berbagai perspektif dan nilai. Pluralisme agama bukan berarti meleburkan semua perbedaan, melainkan menghargai perbedaan sambil mencari titik temu untuk kebaikan bersama.

Demokrasi Indonesia, dengan Pancasila sebagai landasannya, bukan tentang penyeragaman identitas. Ia adalah ruang dialog dinamis di mana perbedaan dihargai dan dikelola untuk kepentingan bersama. Tantangan kita ke depan adalah memperkuat pemahaman ini, melawan narasi ekstremis, dan terus membangun ruang-ruang dialog yang inklusif.

Kita perlu menyadari bahwa demokrasi bukanlah kondisi statis, melainkan sebuah proses yang terus berkembang seperti sebuah perbincangan. Ia membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Setiap warga negara memiliki peran dalam menjaga dan memperkuat demokrasi.

Dengan demikian, demokrasi Indonesia harus menjadi ruang di mana setiap suara didengar, setiap identitas dihargai, dan setiap perbedaan dilihat sebagai peluang untuk pertumbuhan bersama. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi kita tetap relevan dan kuat dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Mari kita jaga dan perkuat demokrasi ini, bukan sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai jaminan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Facebook Comments