Obsesi Penyeragaman Identitas: Wacana Penyatuan yang Tidak Mempersatukan

Obsesi Penyeragaman Identitas: Wacana Penyatuan yang Tidak Mempersatukan

- in Narasi
102
0
Obsesi Penyeragaman Identitas: Wacana Penyatuan yang Tidak Mempersatukan

Dalam perjalanan sejarah, berbagai upaya telah dilakukan untuk menciptakan keseragaman di dalam masyarakat. Obsesi akan penyeragaman identitas ini, sering kali dibungkus dengan retorika tentang persatuan dan kesatuan, ternyata tidak selalu membawa dampak positif sebagaimana yang diharapkan. Di Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa, dari etnis, agama, bahasa, hingga budaya, dorongan untuk menyeragamkan identitas sering kali justru menjadi bumerang yang memecah belah.

Agenda penyatuan yang mengesampingkan keragaman malah memperkuat segregasi, menciptakan polarisasi, dan memperparah ketegangan antar kelompok. Pada akhirnya, upaya ini justru tidak mempersatukan, tetapi semakin mengaburkan batas-batas identitas yang beragam, mengorbankan kekayaan kebudayaan yang selama ini menjadi kekuatan negara.

Penyeragaman identitas kerap kali dimaknai sebagai cara untuk mencapai kesatuan nasional, di mana setiap individu diminta untuk menyamakan diri dengan identitas mayoritas atau identitas yang dikonstruksikan oleh negara sebagai simbol nasional. Proses ini bisa berupa pemaksaan penggunaan simbol-simbol tertentu yang dianggap mewakili seluruh populasi.

Namun, dalam praktiknya, penyeragaman ini cenderung mereduksi keberagaman menjadi satu warna tunggal, yang dianggap “aman” dan “seragam”. Penyeragaman ini juga seringkali menyisakan banyak pihak yang merasa tidak diakui, di mana identitas asli mereka dianggap sebagai ancaman bagi kesatuan. Kondisi ini menciptakan resistensi dari kelompok-kelompok yang merasa diabaikan atau bahkan dimusuhi oleh negara secara kebudayaan.

Sebagai contoh, di Indonesia, peristiwa sejarah seperti penerapan kebijakan Orde Baru yang berupaya menyeragamkan ideologi melalui Pancasila adalah cerminan dari obsesi penyeragaman identitas yang justru menuai protes dan perlawanan. Kebijakan ini menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi di Indonesia.

Dalam proses ini, identitas politik, agama, dan budaya yang berbeda-beda dipaksa untuk tunduk pada satu interpretasi tunggal tentang kesatuan nasional. Namun, alih-alih memperkuat persatuan, kebijakan ini justru memperdalam jurang perpecahan, menanamkan rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan di antara warga negara Indonesia yang berbeda-beda.

Dampak dari obsesi penyeragaman identitas ini dapat dilihat dalam berbagai konflik etnis dan agama yang terus berulang di berbagai wilayah di Indonesia. Ketika negara atau kelompok mayoritas mencoba untuk memaksakan satu identitas atas yang lain, resistensi dari kelompok yang merasa terancam sering kali memicu gejolak dan konflik berkepanjangan.

Untuk itu, yang seharusnya dilakukan untuk memperkuat persatuan adalah merayakan keberagaman dan menciptakan ruang bagi setiap identitas untuk hidup berdampingan dengan damai. Dalam konteks Indonesia, ini berarti menghormati dan melindungi hak setiap kelompok untuk mempertahankan identitas mereka sendiri, sambil tetap berkontribusi pada bangsa.

Kebijakan-kebijakan yang menghargai pluralisme, dialog antar budaya, dan pengakuan terhadap identitas yang berbeda harus menjadi dasar dalam membangun persatuan. Persatuan sejati bukanlah tentang menyeragamkan identitas, melainkan tentang menciptakan kesepahaman dan saling pengertian di tengah keberagaman. Ini adalah persatuan yang muncul dari pengakuan bahwa setiap identitas memiliki tempat yang sah dalam mosaik kebangsaan.

Menyatukan masyarakat yang begitu beragam seperti Indonesia bukanlah tugas yang mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil. Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk menghormati perbedaan dan menciptakan dialog yang inklusif. Negara harus mampu menjadi fasilitator perbedaan yang ada, bukan penyeragam yang menghapus perbedaan.

Dengan demikian, persatuan yang dihasilkan bukanlah persatuan yang rapuh dan dipaksakan, melainkan persatuan yang kuat karena didasarkan pada pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman. Dalam masyarakat yang majemuk, keberagaman harus dilihat sebagai kekayaan yang memperkaya, bukan sebagai ancaman yang perlu dihilangkan.

Dengan merangkul keberagaman dan menciptakan kebijakan yang inklusif, Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia tentang bagaimana persatuan sejati dapat dicapai tanpa mengorbankan identitas yang berbeda-beda. Pada akhirnya, persatuan bukanlah tentang menjadi sama, melainkan tentang bekerja sama dan berkolaborasi dalam perbedaan.

Obsesi penyeragaman identitas adalah agenda yang tidak mempersatukan. Upaya untuk memaksakan satu identitas tunggal atas masyarakat yang beragam hanya akan memperdalam ketegangan dan memperparah perpecahan. Sebaliknya, persatuan sejati hanya dapat dicapai melalui pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap keberagaman identitas yang ada.

Facebook Comments