Menyelami Peran Guru di Era Serba ‘Klik’

Menyelami Peran Guru di Era Serba ‘Klik’

- in Narasi
7
0
Menyelami Peran Guru di Era Serba ‘Klik’

Dulu, untuk mengetahui penyebab Perang Diponegoro atau memahami rumus volume kubus, seorang siswa harus duduk manis, melipat tangan, dan menatap papan tulis kapur selama, mendengarkan gurunya berceramah.

Kini? Cukup tanya ChatGPT, Gemini, atau mesin pintar lainnya. Dalam hitungan detik jawaban itu sudah tersaji. Bahkan ada fitur di dalam smartphone ketika kita mempotret sebuah pertanyaan matematis dengan kamera, ia bisa mendeteksi angka dan menghasilkan jawaban yang benar. Lengkap, rapi, dan seringkali lebih akurat daripada catatan di buku tulis.

Di tengah gempuran era serba instan ini, sebuah pertanyaan eksistensial yang menggelisahkan muncul di benak para pendidik di ruang guru: masihkah kita dibutuhkan?

Jika definisi “guru” hanyalah penyampai informasi, maka jawabannya adalah “tidak”. Kita sudah kalah. Kita tidak mungkin bersaing dengan algoritma yang membaca miliaran halaman dalam sekejap mata.

Namun, mari kita menapak ke bumi. Mari kita lihat wajah pendidikan Indonesia hari ini dengan sejujur-jujurnya.

Sementara teknologi kecerdasan buatan melesat bak roket menembus langit, kaki pendidikan kita justru sedang terperosok dalam lumpur masalah kemanusiaan yang pelik. Kita melihat berita di televisi dan media sosial yang membuat dada sesak.

Seorang siswa merundung temannya hingga trauma fisik dan mental, bahkan ada yang meregang nyawa. Di sudut lain, benih-benih intoleransi tumbuh subur di grup-grup percakapan siswa, di mana perbedaan agama atau suku menjadi bahan olok-olok yang kejam. Belum lagi kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan, yang ironisnya, oleh oknum pendidik itu sendiri.

Di sinilah letak paradoks terbesar abad ini. Kita memiliki teknologi yang mampu menjawab pertanyaan tersulit tentang mekanika kuantum, tetapi gagal menjawab pertanyaan paling mendasar tentang bagaimana menjadi manusia.

Mesin pintar itu bisa menuliskan esai seribu kata tentang “Pentingnya Toleransi” dengan bahasa yang indah. Tapi, mesin itu tidak punya hati. Ia tidak bisa merasakan perihnya hati seorang anak yang dikucilkan di kantin sekolah.

Ia tidak bisa menatap mata siswa yang sedang marah untuk menemukan kesedihan yang tersembunyi di baliknya. Ia tidak bisa memberikan tepukan di bahu yang menenangkan saat seorang remaja merasa dunia sedang runtuh menimpanya.

Inilah celah kosong yang menganga lebar, dan inilah panggung baru bagi guru Indonesia.

Peran guru di era “klik” ini harus bermetamorfosis. Biarkan Google dan AI mengambil alih tugas menghafal data. Tugas guru kini naik tingkat menjadi sesuatu yang jauh lebih sakral, yaitu merawat jiwa dan menjaga akal sehat siswa.

Di era pasca kebenaran ini, kemampuan membedakan kebenaran dan kebohongan menjadi vital. Guru harus hadir bukan untuk memberi jawaban, tapi untuk mengajarkan cara bertanya dan cara meragukan.

Lebih jauh lagi, kaitannya dengan isu bullying dan intoleransi di sekolah kita adalah alarm tanda bahaya. Ini adalah sinyal bahwa pendidikan kita terlalu lama memuja angka di atas kertas ujian dan melupakan adab.

AI tidak bisa mengajarkan empati. AI tidak bisa mengajarkan rasa sakit akibat kata-kata kasar. Dalam konteks pendidikan, guru bisa mencontohkan itu.

Pendidikan di era kecerdasan buatan seharusnya kembali pada akarnya, humanisasi. Guru harus menjadi sosok yang mendeteksi keretakan emosional pada siswanya sebelum keretakan itu pecah menjadi kekerasan.

Guru harus menjadi teladan toleransi yang hidup, bukan sekadar mengajarkan definisi toleransi dari buku PPKn. Guru masa depan adalah fasilitator diskusi yang hangat, bukan penceramah yang kaku. Ia adalah tempat curhat yang aman ketika siswa bingung mencari identitas diri di tengah gempuran media sosial.

Ia adalah sosok yang mengajarkan bahwa di balik layar gadget yang dingin, ada manusia lain yang harus dihargai dan dimanusiakan.

Jadi, apakah guru akan tergantikan?

Jika Anda adalah guru yang hanya masuk kelas, mendikte, memberi tugas, lalu pulang tanpa peduli nama siswanya, bersiaplah diganti oleh aplikasi. Tapi, jika Anda adalah guru yang mampu menyentuh hati, yang kehadirannya dinanti karena membawa rasa aman, dan yang kata-katanya mampu mengubah tangis menjadi semangat, maka Anda abadi.

Teknologi memang memudahkan hidup, tetapi hanya sentuhan manusialah yang memaknai hidup. Di era serba klik ini, biarkan mesin mengurus data, dan biarkan guru mengurus cinta, rasa, dan karsa.

Dan itulah satu-satunya hal yang tidak bisa di-klik.

Facebook Comments