Sedekah laut yang digelar di Pantai Baru, Bantul, pada Sabtu, 13 Oktober 2018 batal. Dikarenakan sekelompok massa bercadar yang tiba-tiba datang langsung mengobrak-abrik dan merusak segala persiapan gelaran sedekah laut. Sambil berteriak takbir, massa bercadar itu merusak penjor (hiasan dari pohon pisang), memecah kaca meja, dan mengobrak-abrik kursi yang disiapkan untuk tamu. Sebagian kelompok beranggapan kegiatan itu bertentangan dengan nilai agama. Padahal, jika ditelisik tradisi sedekah laut merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat lokal yang sudah berlangsung turun temurun dan baru kali ini ditolak.
Identifikasi tersebut menegaskan bahwa kemajemukan yang termaktub dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai titik temu solidaritas kolektif di negeri ini—senantiasa mendapat ancaman akibat krisis pluralisme. Penyebabnya adalah merebaknya aspirasi politik identitas dengan semangat partikularistik. Artinya, insiden ini pula telah merusak dan mengkhianati nilai-nilai pluralisme yang pernah diperjuangkan oleh mendiang (Alm) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Padahal, kita sadari bahwa sosok Gus Dur memiliki peranan besar dalam menegakkan panji-panji pluralisme dan toleransi di Indonesia.
Sosok Gus Dur berharap semua insan bangsa dapat saling memahami ditengah perbedaan. Bagi sosok Gus Dur perbedaan justru merupakan sebuah wahana dalam merajut persaudaraan. Itu mengapa, Gus Dur kerap menancapkan ajaran bahwa kita jangan terjebak dalam formalisme yang dogmatis, melainkan harus mampu menghadirkan kontekstualisasi historis agar kita dapat tetap menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Hal senada diutarakan antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss (1995) yang mengutarakan bahwa keragaman ada di belakang, didepan, dan bahkan di sekeliling kita. Pluralisme dan keberagaman dalam konteks Indonesia merupakan sebuah realitas, bukan sesuatu hal yang baru. Artinya, jika perbedaan ini dapat dikelola dengan baik bisa menjadi potensi kerukunan. Tetapi sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik maka akan melahirkan reproduksi konflik.
Tetapi, dekade terakhir upaya mengedepankan nilai-nilai pluralisme seringkali hanya dijadikan basa-basa politik demi mendulang elektoral maupun mempertahankan kursi kekuasan. Akibatnya, anak bangsa kian tercera-berai, berdasarkan gender, generasi, pekerjaan, daerah, etnisitas, dan agama. Kondisi inilah yang menjadi awal terjadinya krisis pluralisme karena terkikisnya budaya saling menghormati dan menghargai perbedaan. Sehingga melahirkan pemahaman yang parsial serta ketidaksiapan individu atau kelompok untuk hidup dalam lingkungan yang plural.
Jika ditelaah lebih mendalam, esensi pluralisme tidak berarti menyamakan semua jenis dan ekspresi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Termasuk menyamakan semua aliran, paham, ideologi maupun agama. Diana L Eck (1993) menyatakan bahwa pluralisme berbeda dengan relativisme dan toleransi pasif. Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami aneka perbedaan. Jika nilai-nilai pluralisme dipahami secara positif, maka dapat melahirkan pandangan keberagaman, kemajemukan, dan kebinekaan dalam kehidupan manusia.
Atas dasar realitas tersebut, sudah saatnya kita membumikan nilai-nilai pluralisme dengan mendorongnya menjadi habitus pluralisme berbasis lokalitas. Dalam konteks ini habitus menurut Pierre Bourdieu (1984), merupakan praktik sosial yang direproduksi melalui interaksi dinamis antara aspek kognitif dan konteks struktur. Alhasil, interaksi ini kerap berulang dan termodifikasi sehingga menjadi kebiasaan yang terstruktur. Habitus dalam konteks ini lebih diartikan sebagai “kebiasaan”, setelah kata tersebut diadopsi bahasa Inggris menjadi habit. Artinya, habitus pluralisme ini diharapkan bisa menciptakan suasana saling menghargai, menghormati, dan bertoleransi satu sama lain yang kemudian dapat menjadi kebiasaan kita sehari-hari.
Dengan begitu, hadirnya habitus pluralisme akan mendorong semua anak bangsa untuk lebih memahami bahwa pluralisme bukanlah sesuatu yang mengerikan. Pluralisme dapat menjadi lentera bagi kehidupan bangsa, sebab nilai-nilai toleransi harus dibangun sedari awal. Selain itu, kesadaran terhadap pluralisme sangat dibutuhkan untuk menekan melebarnya aksi radikalisme berlatar perbedaan etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Jika tidak, demokratisasi yang sejatinya ditujukan untuk menyegarkan dan merehabilitasi solidaritas kebangsaan, justru menjadi arena reproduksi kekerasan dan diskriminasi.
Oleh sebab itu, berupaya membumikan nilai-nilai pluralisme agar menjadi kebiasaan sehari-hari menjasi sebuah keniscayaan. Dengan begitu kita telah mengembangkan sikap kemajemukan yang penuh penghormatan dan penghargaan pada pendapat, pilihan hidup, serta keyakinan yang berbeda. Langkah taktis ini sangat efektif mengurangi prasangka negatif yang seringkali menjadi pemisah kerukunan. Dengan demikian, arah pluralisme dapat menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik sehingga dapat berkembang sesuai kekhasan masing-masing. Sebab, Indonesia akan menjadi kuat, hebat, dan disegani oleh berbagai negara di dunia jika sanggup membangun kebersamaan dan terus memperkokoh kemajemukannya
Pada akhirnya, habitus pluralisme berbasis lokalitas dapat menjadi titik balik bangsa kembali membumikan nilai-nilai pluralisme tanpa terbebani perbedaan latar belakang sosial, budaya lokal, agama, dan mazhab. Dengan demikian, komitmen perdamaian akan menjadi titik tolak bersama semua elemen yang ada agar dapat melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap keragaman. Jika kemudian semua anak bangsa dapat memahami filosofi ini, sejatinya tidak ada lagi yang namanya radikalisme atas nama perbedaan, pengkafiran, penistaan atau penolakan atas kelompok minoritas tertentu yang dapat berimplikasi praktis terhadap pudarnya hakikat bangsa sebagai metafora solidaritas.
Dengan merujuk pada nilai-nilai Pancasila dan filosofis Bhinneka Tunggal Ika, diharapkan dapat mengatasi segala tindakan kekerasan atas nama agama sekaligus menciptakan kesadaran kolektif untuk menghormati beragam kebudayaan lokal sebagai satu khazanah kekayaan bangsa kita. Dengan demikian dalam mengarungi kehidupan, kita dituntut segera menghilangkan prasangka buruk dan ego sektoral, agar senantiasa terlahir prinsip kedamaian dan kasih sayang. Sebab, ajaran kasih sayang dapat menjadi oase perdamaian—sekaligus upaya menegakkan panji-panji keberagaman dalam konteks ke-Indonesia-an.