Sejak awal, para founding fathers kita paham dan menyadari betuk kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Oleh sebab itu, para pendiri bangsa mencari bentuk negara yang cocok, yang mampu mewadahi keberagaman tersebut. Bahkan, sejak sebelum merdeka, segenap pemuda menyatakan berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kamilia Hamidah (2012) menjelaskan bahwa istilah bangsa (nation) berdasarkan konsep kesamaan, solidaritas sebagai komunitas tertentu dan keinginan untuk mendirikan sebuah kesatuan pollitik, dan pemerintahan yang independen.
Pertama, kesamaan. Rakyat yang memiliki kesamaan sejarah nasib, bahasa, dan ideologi akan membentuk suatu komunitas dan komunitas yang paling besar disebut dengan negara. Maka dari kesamaan inilah, beberapa komunitas yang memiliki kesamaan sebagaimana disebut menyepakati adanya satu komunitas yang disebut bangsa untuk menampung dan memerjuangkan mereka.
Kedua, feeling of comunity. Solidaritas sebagai kelompok tertentu akan memperkuat tumbuhnya sense of nationalism pada setiap orang. Dalam bahas modernya jiwa korsa akan memperkuat solidaritas terhadap kelompok tertentu, dalam hal ini Indonesia. Ketiga, a desire to rule of themselves politically. Inilah yang menjadi kekutan utama menuju terformatya sebuah negara. Pemerintahan independen dan kuat dalam politiknya, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Penjelasan diatas sungguh mengetuk jiwa kebangsaan kita bahwa inti nasionalisme adalah kesatuan, persatuan dan persaudaraan dalam bingkai negara sebagai wadah semua yang berbeda-beda itu. Namun, belakangan ini nasionalisme kita banyak mengalami cobaan yang mengarah pada perpecahan antar golongan atau kelompok tertentu.
Kepentingan sektoral yang menguat menjadi salah satu penyebab menipisnya jiwa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Perbedaan sudah tidak lagi dirayakan, melainkan sudah mengarah pada semakin kentara jurang perbedaan itu. Dalam bahasa ekstremnya, kebhinnekaan Indonesia sedang goyah. Celakanya, dalam kondisi seperti ini banyak oknum yang sengaja memanfaatkannya. Singkat kata, ada indikator terhadap kelompok tertentu yang menginginkan kebhinnekaan yang sudah dijunjung tinggi segenap bangsa Indonesia, sekali lagi, oleh oknum itu ingin dihancurkan.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dengan hikmat dan penuh semangat mengajak segenap masyarakat Indonesia untuk merapatkan barisan dalam rangka memelihara keragaman berbagai agama, suku, bahas, dan lain sebagainya. Terutama setelah aksi penyerangan Gereja Oikumene, Samarinda, Ahad (13/11) lalu. Aksi yang mencederai Kebhinnekaan ini harus disikapi secara bijak.
Terlepas dari kasus Bom Molotov itu, segenap rakyat Indonesia hendaknya tetap bersatu dan saling membantu. Jangan gara-gara aksi Bom itu menjadikan jurang pembeda antara kelompok tertentu. Jalaluddin Rumi pernah mengatakan bahwa keberagaman ibarat alat musik yang mengeluarkan bunyi yang berbeda, tetapi dengan keberagaman tersebut lahir sebuah melodi yang indah.
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu tujuan harus dirawat dan dipelihara sedemikian rupa. Setidaknya di Indonesia ada 1.128 suku dan lima agama. Keberagaman adalah pemberian tuhan. Dengan demikian tuhan sudah menetapkan bahwa kebhinnekaan adalah cerminan rahmat semesta alam. Jadi, apapun agama dan sukumu, kita satu, yakni Bangsa Indonesia.
Faktor Perusak Kebhinekaan
Sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa kebhinnekaan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat Indonesia kini mulai terkoyak. Setidaknya terdapat beberapa faktor penyebab hancurnya nilai kebhinnekaan itu. Pertama, perbedaan yang ditonjolkan. Perbedaan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Namun tugas kita adalah bagaimana menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat, keindahan, dan harmoni. Cita-cita dan harapan ini akan terwujud jika perbedaan tidak ditonjolkan. Artinya, yang harus dicari dari perbedaan itu adalah kesamaan atau kalau tidak ada kesamaan sedikitpun, maka memahami adalah cara bijak. Jangan sampai, misalnya beda ilihan politik, merusak kebhinnekaan. Hal ini senada dengan imbauan Rais Syuriah PBNI yang juga Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia KH. Masdar Farid Mas’udi mengajak semua kalangan untuk menjadikan momentum demokrasi dalam suasana damai dan penuh dengan keikhlasan.
Kedua, intoleransi. Sikap saling melindungi, menghargai, dan memahami adalah syarat mutlak bagi setia individu atau kelompok yang hidup berdampingan dengan kelompok yang memiliki warna kulit dan agama yang berbeda. Mayoritas harus melindungi minoritas dan minoritas harus memahami mayoritas. Hubungan minoritas dengan mayoritas adalah simbiosis mutualistik. Inilah faktor penting dalam menjaga kebhinekaan. Namun, sikap intoleransi masih menjadi momok bagi kebhinnekaan.
Intoleransi belakangan ini hampir tumbuh subur. Berbagai teror dan ancaman terhadap kelompok tertentu, bahkan sampai melakukan aksi bom bunuh diri dan lain sebagainya adalah buktinya. Aksi-aksi yang mengarah kepada intoleransi harus segera diatasi karena, sekali lagi, dapat merusak kebhinnekaan yang sudah lama dan terbukti mampu mewujudkan harmoni di bumi pertiwi.
Ketiga, provokasi. Ujaran kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu tanpa alasan yang mendasar menjadi benih-benih sikap destrukstif terhadap seseorang atau kelompok tertentu itu. Isu suku, agama, ras, dan golongan (SARA) menjadi senjata kelompok provokator ini. Dan di negeri ini banyak kelompok atau orang yang memang sudah ‘disetting’ sebagai provokator. Lazimnya, provokator ini menyebarkan berita hoax dan tidak berdasar sama sekali melalui media sosial. Poin terakhir ini sedang menjadi tren di era kemajuan teknologi dan informasi seerti saat ini.
Peran Media Sosial
Kebangsaan Indonesia sedang mengalami ujian. Berbagai ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu sudah mulai bertebaran di ruang-ruang publik. Media sosial ditengarai menjadi alat untuk menebar kebencian, yang sarat dengan kepentingan kelompok tertentu. Informasi yang viral di media sosial begitu liar. Senada dengan ini, Panglima TNI Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa ada yang ingin menjajah Indonesia, salah satunya melalui media dan pemimpin boneka.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan saja. Bersamaan dengan ini, masyarakat harus dididik agar mampu menggunakan media sosial dengan bijak, menyebarkan berita yang menyejukkan, bukan provokasi dan memutar balikkan logika masyarakat.
Jauh dari itu, masyarakat juga harus pandai membaca berita. Sebab, tidak sedikit media yang menyuguhkan berita sesuai dengan selera pemilik modal. Tidak kalah pentingnya, masyarakat juga harus mengedukasi media-media yang terindikasi kuat membela pemodal dengan cara tidak menge-klik, share, dan menontonnya. Dengan cara beginilah media akan memenuhi ajalnya.