Framing Dunia Maya dan Provokasi Dis-Integrasi

Framing Dunia Maya dan Provokasi Dis-Integrasi

- in Narasi
1647
0

Globalisasi dalam realitasnya membawa konsekuensi atas perubahan sosial di masyarakat dan salah satu diantaranya adalah perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial dimana secara langsung telah menggantikan media komunikasi massa yang sebelumnya lebih cenderung untuk bertatap muka ketika bicara kemudian beralih ke dunia maya. Konteks perubahan komunikasi massa inilah yang seringkali dikatakan sebagai realitas yang termediasi. Sudah tentu perspektif kita atas media maya tidak bisa ditempatkan dalam kerangka monotafsir, artinya pada satu sisi membawa keuntungan bagi penggunanya, namun disisi yang lain justru bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk memprovokasi dan menebar kebenciaan, fitnah, serta berita yang tidak jelas sumber nya (hoax).

Saat ini publik perlu berhati-hati dalam menggunakan media komunikasi maya, seperti facebook, twitter, instagram dan lain-lainnya. Media sosial sebagai alat sangat dimungkinkan oleh penggunanya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab serta kontraproduktif. Sudah sangat sering publik terprovokasi oleh berita-berita hoax yang berujung pada konflik sehingga seringkali kita dapati publik terpecah belah menjadi dua kubu yang saling bertikai dengan mengedepankan argumen serta pembelaan masing-masing. Terlebih lagi saat ini isu soal SARA sangat mudah untuk dimainkan oleh siapapun. Media sosial menjadi sarana yang paling efektif untuk menghembuskan isu tersebut, tentunya arahnya sangat mudah untuk dibaca yakni disintegrasi bangsa. Dan anehnya kita selalu saja terjebak dengan konflik horisontal seperti ini.

Framing atas dunia maya selalu berada pada posisi biner, dimana semua sangat tergantung pada aktor yang memanfaatkannya. Oleh karena itulah, point of interest dalam persoalan ini adalah bagaimana publik bisa bersikap cerdas dalam memanfaatkan media informasi. Publik sudah saatnya untuk melek informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh postingan-postingan di media sosial yang justru kontraproduktif dengan semangat kebangsaan, nasionalisme, dan kebhinnekaan. Pun, dalam konteks ini, negara harus turut serta membangun isu-isu konsturktif bagi publik melalui media sosial yang mengarah pada upaya penjagaan integrasi bangsa.

Bangsa Indonesia telah melalui perjuangan yang sangat panjang untuk meneguhkan kebhinnekaan dalam kerangka ‘tunggal ika’. Isu soal SARA sudah seharusnya harus kita tinggalkan karena membahasnya sama halnya kembali pada pemikiran primitif. Indonesia harus menjadi contoh bagi negara-negara lain tentang bagaimana mengelola perbedaan, tentang bagaimana menghargai keberagaman, dan menjadikan keragaman SARA sebagai kekuatan pengokoh negara. Dan diskurs atas semua itu bisa dilakukan oleh kita semua melalui dunia maya, khususnya melalui media sosial. Negara harus terus mengontrol kebebasan warga negaranya tanpa harus mengambil hak mereka untuk menyampaikan aspirasi, berkumpul dan berserikat. Jika kemudian didapati ada unsur-unsur yang mengarah pada isu disintegrasi maka harus segera ditindak lanjuti, tentunya dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengakses media sosial terbesar di Asia Tenggara. Secara demografi, bacaan atas fenomena tersebut tidaklah berlebihan mengingat jumlah penduduk produktif kita saat ini kurang lebih 50% dari jumlah total penduduk. Dengan gambaran statistik tersebut maka ada puluhan juta masyarakat Indonesia yang setiap harinya mengakses media sosial dan membaca setiap postingan berita yang berada dilaman media sosial yang ia akses. Dilematisnya kemudian, tidak semua pengguna media sosial mampu menggunakan dengan baik. Kurangnya informasi yang akurat dan kredibel, serta kurangnya kontrol emosi yang disebabkan oleh keberpihakan pada kelompok tertentu menggiring mereka untuk mudah menerima apapun tanpa dicerna atau dikroscek terlebih dahulu. Jika fenomena tersebut terjadi dalam kuantittas massal dan mempersoalkan persoalan yang mengarah pada pro dan kontra, maka bisa dibayangkan bagaimana konflik yang akan muncul. Ungkapan kebenciaan, fitnahan, umpatan, dan cacian menjadi bagian yang tidak terelakkan sebagai bentuk luapan emosional.

Sekali lagi kita harus cerdas dalam mengelola dan menggunakan media sosial sehingga keberadaannya benar-benar bisa diperuntukkan untuk kemaslahan bersama. Terlebih lagi untuk membangun wacana yang positif dalam berbangsa dan bernegara. Media massa, dimana salah satunya media sosial –dunia maya- merupakan salah satu pilar demokrasi, sehingga sangat wajar jika media tersebut menjadi sarana untuk meneguhkan NKRI dan menolak segala bentuk isu dis-integrasi bangsa. Maka cerdaslah dalam bernegara dan cerdaslah menggunakan dunia maya sebagai sarana berdemokrasi yang bermartabat.

Facebook Comments