Bangsa Indonesia sudah menghirup udara segar bernama kemerdekaan selama 71 tahun. Dengan usia yang melebihi setengah abad tersebut, banyak yang sudah dilewati. Tidak jarang pula beragam tindakan yang bertolak belakang dengan spirit kemerdekaan sering terjadi. Karena itu, ketika kemerdekaan sudah dikumandangkan, tantangan terbesar adalah menjaga kemerdekaan itu sendiri.
Namun sayang, dalam satu dekade terakhir, berbagai gejala destruktif acap kali menyelimuti bumi pertiwi ini. Salah satu yang paling mencolok adalah gerakan radikalisme berbalut agama. Gerakan radikalisme merupakan salah satu musuh nyata dan paling mutakhir di republik ini. Semakin lama, gerakan ini bermetamorfosa menjadi gerakan yang mengancam eksistensi negara. Mungkin dulu, gerakan ini tidak terlalu mengemuka karena masih belum memiliki basis kuat. Namun sekarang, gerakan ini semakin berani dalam menunjukkan eksistensinya, akibatnya, keutuhan dan kekokohan negara terancam.
Harus diakui bahwa lahirnya gerakan radikalisme tidak lepas dari motif ekonomi, politik, kekuasaan, agama, dan aspek lain yang menjadi basis pendukungnya. Namun yang paling dominan, gerakan radikalisme sering bertautan dengan agama. Agama dijadikan tameng untuk membenarkan pola pikir keliru. Akibatnya, pemahaman agama sering kali ditafsirkan secara serampangan agar apa yang menjadi tujuannya dianggap bersumber dari agama.
Kekerasan, tindakan intoleran, dan radikalisme yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini acap kali berbalut agama. Ini yang kemudian menjadikan agama Islam mendapat kecaman dari dunia barat. Dengan berbagai argumennya, agama dijadikan objek yang dipersalahkan karena ulah individu yang salah memahami agama. Parahnya lagi, pesantren dianggap sebagai tempat yang melahirkan ajaran radikal.
Dalam perspektif kenegaraan, radikalisme dipahami sebagai upaya untuk merekonstruksi perubahan drastis ekonomi-politik dan kekuasaan. Dalam artian, radikalisme dijadikan alat untuk menguasai ekonomi dan politik tanah air agar kekuasaan yang ada sepenuhnya di tangan kelompoknya. Maka, tidak ada jalan lain bagi kelompok radikalisme untuk menghalalkan segala cara termasuk menafsirkan ajaran agama secara dangkal.
Akar radikalisme
Seperti yang telah dijelaskan di muka, motif utama radikalisme adalah ekonomi, politik, sosial, dan agama. Ketika radikalisme membawa ajaran islam, maka yang direpotkan adalah penganut agama islam. Agama islam menjadi obyek yang tertuduh. Di balik itu, kalangan radikal memanfaatkan generasi islam untuk tunduk kepada ajarannya. Umat islam yang belum memiliki pemahaman secara utuh, didistorsi dan diintroduser untuk menjadi bagian dari golongannya. Akibatnya, mereka yang masih hijau terhadap ajaran agama, mengikuti ajarannya dengan dalih jihad.
Jaringan radikalisme selalu memiliki inovasi untuk merekrut seseorang. Jaringan radikalisme memiliki sejuta cara, tergantung permintaan pasar dalam merekrutnya. Ketika masyarakat dalam himpitan ekonomi, maka tawarannya adalah kesejahteraan ekonomi. Ketika masyarakat sedang muak dengan politik, maka solusi politik pun ditawarkan. Begitupun seterusnya, jaringan radikalisme tanpa henti menebar cara untuk merekrutnya. Mereka tidak peduli dengan papa yang terjadi setelahnya. Bagi mereka, merekrut pasukan sebanyak-banyaknya menjadi tujuan utama. Setelah direkrut, barulah berbagai janji dan tawaran diselewengkan.
Dalam hal ini, ada beberapa hal mengapa bangsa Indonesia mudah diintrodusir atau direkrut oleh jaringan radikal. Pertama, masyarakat yang belajar masalah agama sejak kecil tidak fokus terhadap beragam ajaran yang luhur. Artinya, mereka lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan ritual. Dalam pandangan Wongkaren (2011), pelajaran agama yang diperkenalkan pertama kali sedikit banyak dibarengi oleh stimulus negatif seperti ancaman dan kekerasan fisik (lihat Sukabdi, , MAARIF vol. 8, No. 1-Juli 2013).
Kedua, dalam tatanan ekonomi, kesejahteraan menjadi salah satu cara untuk merayu masyarakat. Biasanya, cara ini dilakukan kepada masyarakat kelas menengah yang terhimpit ekonomi. Jika mereka terbujuk dengan rayuan kesejahteraan ekonomi, tidak mustahil mereka mudah direkrut. Namun, cara ini tidak mudah berhasil apabila obyeknya memiliki nalar pendidikan yang tinggi. Terlebih lagi, mereka sudah malang melintang dalam mengkaji isu-isu keagamaan.
Ketiga, dalam tatanan kenegaraan, biasanya ajaran radikalisme dijadikan isu sentral yang ditawarkan terutama dalam beragam momentum seperti kemerdekaan. Dalam hal ini, kemerdekaan diangkat menjadi isu yang otopsi. Kemerdekaan dianggap hanya kebohongan belaka karena pada dasarnya Indonesia tidak merdeka. Isu ini terus dihembuskan sampai masyarakat mempercayainya. Akibatnya, mereka tertarik dengan ajaran dan ingin bergabung. Inilah yang kemudian menanamkan isu sektarian. Ini sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa karena isu kenegaraan dijadikan alat untuk mempengaruhi orang lain.
Ketika ketiga aspek ini berjalan, maka orang-orang mulai tertarik terhadap isu-isu yang ditawarkan olah kelompok radikal. Ada rasa penasaran dan bahkan kecanduan untuk mempelajarinya. Bagi kelompok radikal, perbedaan dan ketakutan segera diubah menjadi sikap intoleran. Akibatnya, kekerasan menjadi tidak terhindarkan. Mereka yang tidak memilik kesamaan dianggap musuh yang mesti dimusnahkan.
Karenanya, memerdekakan diri dari ajaran radikalisme menjadi hal yang wajib. Langkah yang paling mungkin adalah pengurangan kesenjangan ekonomi. Keadilan dalam berbagai sektor harus terus digalakkan agar tidak terjadi kesenjangan. Jika ini dilakukan, maka kesejahteraan dan kedamaian terjaga sehingga tidak mudah bagi ajaran radikal untuk mengeliminasi rasa cinta terhadap bangsa, negara, dan agama Rahmatan Lil Alamiin.