Pada tanggal 17 Agustus 1945, para pahlawan kemerdekaan berkumpul dan Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia dengan ditandai pembacaan proklamasi.
Dalam rangkaian momentum kemerdekaan Indonesia yang ke-75, mengingatkan kita pada sejarah perjuangan pahlawan bangsa yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas nikmat kemerdekaan.
Umumnya, dalam semarak HUT RI dilangsungkan dengan sangat meriah di seluruh penjuru tanah air. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyak aktivitas seperti perlombolan-perlombaan baik di tingkat RT, Dusun, dan Desa. Akan tetapi, semarak kemerdekaan kali ini terpaksa dilakukan dengan cara-cara yang menimalis, misalnya mengheningkan cipta tidak lebih dari 3 menit di ruas-ruas jalan raya.
Kendati demikian, menurut mediaindonesia.com, 18/8 tercatat dari Juni-Agustus, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 72 teroris. Ini menunjukkan bahwa, di tengah semarak kemerdekaan dan perayaan Tahun Baru Hijriyah yang ke-1442, tampaknya kelompok teroris atau bahasa halusnya, para pengasong khilafah masih tetap menguat.
Berangkat dari uraian tersebut, penulis teringat pesan-pesan Bung Karno. Soekarno, meminjam bahasanya Bernard Dahm (1987), adalah sosok pemersatu ulung dan anti-imprealisme, pernah berkata, “Negara ini, Republik Indonesia bukan milik kelompok manapun, juga agama, atau kelompok etnis manapun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”.
Baca juga : Subtansi Hijrah dalam Konteks Negara Kebangsaan
Kalimat Bung Karno di atas tak hanya dapat memberikan suntikan semangat (baru tentang nasionalisme dan arti kemerdekaan) tetapi juga memiliki makna yang amat dalam. Tak heran jika rangkaian kata dan kalimat dari Soekarno ini terus diingat hingga sekarang.
Kemerdekaan adalah kenikmatan terbesar bagi seluruh bangsa-bangsa dunia termasuk Indonesia. Bahkan, Bung Karno mengibaratkan kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk meraih cita-cita luhur da visi abadi bangsa: mewujudkan kecerdasan umum, menciptakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Di samping, perlu dicatat, kemerdekaan yang kita nikmati hari ini bukanlah diperoleh dengan berlutut kepada penjajah, melainkan kemerdekaan yang direbut melalui perang.
Oleh karenanya, sungguh aneh bin ajaib jika sebagian dari kita lebih memilih mengkampanyekan sistem khilafah atau paling tidak, beranggapan bahwa keberadaan mereka bukan ancaman bagi nasionalisme kita, bagi penulis, dan maaf, itu merupakan sikap pengkhianatan terhadap kedaulatan Indonesia. Sebagai generasi yang turut menikmati kemerdekaan, seharusnya kita berpikir bijak, yakni jangan sampai kita mensia-siakan perjuangan para pahlawan kemerdekaan atau dengan kata lain, kita kritis terhadap tumbuh suburnya para pengasong khilafah akhir-akhir ini.
Berbicara tumbuh suburnya pengasong khilafah maka tak jauh dari bahasan organisasi Hizbut Tahrir (HT) dan organisasi jihadis lainnya masuk ke Indonesia dan kini, dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Sejauh yang penulis ketahui, Indonesia bukan satu-satunya negara yang melarang aktivitas HT akan tetapi, sekurangnya ada 20 (dua puluh) negara di seluruh dunia yang melarang HT berkembang di negaranya lantaran beberapa alasan, mulai dari dianggap mengancam kedaulatan negara, keterlibatan dalam kudeta hingga keterlibatan dalam aksi terorisme.
Kendati organisasi ini telah sah secara hukum dilarang akan tetapi ideloginya masih saja terbang bebas di negeri ini dan bahkan masuk ke ruang-ruang lembaga pendidikan dan lembaga negara. Bukankah ini memprihatinkan?
Betapa tidak, karena tak dapat disangkal, masih saja sebagian masyarakat Indonesia menggandrungi keberadaan HT ini. Parahnya, mereka kerap mengkapanyekan ideologi khilafah. Dalam praktiknya, mereka dengan entengnya mengatakan pemerintah dan ideologi Pancasila adalah produk kafir dan harus segera diganti dengan ideologi mereka.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa betapa kemerdekaan yang dahulunya – mungkin – oleh para para pahlawan dianggap selesai ternyata kini, kemerdekaannya mulai terusik oleh para pengasong khilafah yang ingin sekali menggantikan idelogi Pancasila dengan idelogi agama Islam. Naasnya, kita atau pun pemerintah secara khusus tak dapat mengusir para pengasong khilafah dari bumi Indonesia karena mereka adalah rakyat Indonesia itu sendiri.
Oleh karena ideologi sulit dibumihanguskan apalagi hanya dilarang oleh undang-undang, maka ideologi harus dilawan dengan ideologi. Dengan momentum kemerdekaan dan akan pula memperingati Tahun Baru Hijriyah, maka, kita harus senantiasa menonjolkan cintai pada tanah air, minimal, melakukan narasi-narasi semangat nasionalisme dan patriotisme di dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, tak ayal jika Soekarno pernah juga mengatakan, “Perjuangaku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.