Mereduksi Prasangka Beragama di Tengah Masyarakat Multireliji?

Mereduksi Prasangka Beragama di Tengah Masyarakat Multireliji?

- in Narasi
99
0
Mereduksi Prasangka Beragama di Tengah Masyarakat Multireliji?

Sebagai negara multireliji, salah satu tantantan terberat Indonesia adalah mewujudkan ekosistem beragama yang harmonis. Secara konstitusional, Indonesia sebenarnya sudah memiliki desain ketatanegaraan yang memungkinan bagi terciptanya harmonis beragama. Pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya didesain untuk meminimalisasi adanya konflik atau benturan antaragama.

Namun demikian, realitas di lapangan tampaknya masih jauh dari harapan. Fenomena intoleransi bahkan kekerasan atas nama agama masih saja terjadi. Dari luar, relasi keberagamaan di Indonesia memang tampak baik-baik saja. Namun, jika dilihat lebih detail, masih ada banyak residu persoalan yang menggangu relasi beragama di masyarakat.

Misalnya, kian banyaknya kasus pelarangan aktivitas ibadah agama minoritas oleh kelompok mayoritas. Arogansi mayoritas ini masih menjadi ancaman serius bagi pluralitas agama. Dengan kata lain, relasi antara agama di Indonesia masih didominasi oleh sentimen prasangka yang acap mengarah pada ketakutan.

Prasangka dalam beragama adalah sikap yang menganggap keberadaan kelompok agama lain itu sebagai ancaman bahkan musuh bagi kelompoknya. Dalam konteks masyarakat komunal, individu akan selalu mengidentifikasi diri sebagai bagian sebuah kelompok besar. Termasuk dalam beragama. Seorang muslim, Kristen, Hindu, atau budhis misalnya secara otomatis akan berkelompok dengan individu lain yang memiliki keimanan sama.

Seturut pandangan filosof Theodor W. Adorno, individu yang memiliki kecenderungan tinggi untuk berprasangka memiliki potensi yang tinggi untuk memiliki kepribadian otoriter (autoritharian personality). Dalam kehidupan sosial, individu yang berkepribadian otoriter itu cenderung gagal beradaptasi dengan kemajemukan identitas. Akibatnya, ia akan menghadapi perbedaan dengan sikap ofensif dan agresif yang mengarah pada situasi konflik.

Bahaya Nalar Oposisi Biner dalam Beragama

Proses identifikasi individu ke kelompok ini sebenernya wajar dan alamiah. Yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika proses identifikasi diri ini mengarah pada nalar oposisi biner. Yakni pandangan yang melihat realitas sosial dengan perspektif sempit; aku-kamu, kami-kalian, kita-mereka.

Dalam terminologi sosiologis pandangan oposisi biner ini melahirkan istilah “in group” dan “out group“. In group merujuk pada kelompok sendiri yang memiliki identitas sama dianggap sebagai kawan. Sedangkan out group dimaknai sebagai kelompok yang ditempatkan di luar atau berseberangan hanya karena perbedaan identitas.

Secara sosiologis, prasangka adalah akar semua konflik sosial, termasuk yang dilatari isu agama. Dalam relasi sosial yang dilatari prasangka, individu atau kelompok menjadi mudah diprovokasi dan diadu-domba.

Dalam konteks beragama, prasangka biasanya muncul lantaran sejumlah faktor. Antara lain, sikap fanatik dalam beragama, yakni menganggap agama sendiri paling benar dan agama lain salah. Selain itu, prasangka dalam beragama juga kerap dilatari oleh kurangnya penghayatan dalam beragama, dan menganggap agama hanya sebagai simbol atawa identitas.

Seperti banyak dijelaskan oleh para pakar sosiologi agama, perilaku keberagamaan itu diklasifikasikan ke dua tipe. Pertama beragama secara intrinsik, yakni menghayati ajaran dan nilai agama sebagai pedoman hidup diri sendiri. Keberagaman intrinsik ini mewujud pada implementasi nilai keagamaan dalam perilaku keseharian.

Kedua, beragama secara ekstrinsik yakni perilaku keragaman yang berorientasi pada aspek transaksional berdasar untung-rugi. Misalnya, menjadikan agama sebagai nilai tawar sosial di tengah masyarakat. Agama dijadikan alat untuk menekan kelompok lemah agar mau tunduk pada kehendak mayoritas.

Prasangka beragama tentu harus dihindari terutama dalam konteks Indonesia yang multireliji. Setidaknya ada dua pendekatan dalam mereduksi prasangka beragama di masyarakat yang multireliji seperti Indonesia ini.

Pertama, mereduksi prasangka beragama dengan pendekatan individual. Yakni menanamkan paradigma beragama yang toleran dan inklusif pada setiap individu. Dalam pendekatan individual ini, orientasi besarnya adalah bagaimana setiap individu beragama mampu mempraktikkan perilaku keberagamaan yang ramah pada perbedaan, dan adaptif pada keberadaan kelompok agama lain.

Pendekatan individual ini kiranya bisa dimulai dari lingkup paling kecil, yakni keluarga. Maka, pengasuhan keluarga menjadi salah satu variabel penting untuk membentuk generasi yang moderat dalam beragama.

Kedua, pendekatan komunal yang melibatkan berbagai kelompok agama. Pendekatan komunal ini berorientasi pada terciptanya relasi antar agama yang egaliter alias setara dimana tidak ada relasi kuasa antara kelompok mayoritas dan minoritas di dalamnya. Pendekatan komunal bisa diprakarsai oleh pemerintah maupun lembaga atau ormas keaagamaan.

Salah satunya dengan rutin menggelar dialog antar agama. Dialog yang bertujuan bukan untuk membahas persoalan teologis, terkait keimanan siapa yang paling valid. Namun, dialog yang diarahkan dalam rangka mencari solusi atas problem kebangsaan, misalnya kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

Dari dialog itu tentu akan muncul sikap saling memahami dan komitmen untuk bekerjasama mengatasi persoalan bersama. Dialog dan kerjasama lintas agama akan melahirkan kesadaran di kalangan umat bahwa musuh sebenarnya bukanlah kelompok agama lain, melainkan kebodohan, kemiskinan, dan problem sosial lainnya.

Facebook Comments