“..dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar…”
(Masdar F. Mas’udi, 2006).
Problematika keagamaan (Islam) global dewasa ini, dalam perkembangannya bukan hanya berkisar pada soal interpretasi teks keagamaan, melainkan merambah pada soal menyikapi modernisasi di negara-negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia, khususnya seputar konflik agama-negara. Demi agama seseorang rela mengorbankan jiwa dan raganya. Demikian pula tidak jarang demi negara, seseorang tidak berkeberatan mengorbankan jiwa dan raganya. Konsep syahid dalam ajaran Islam dan konsep pahlawan yang berkaitan dengan negara adalah cermin betapa dua institusi tersebut sama-sama mempunyai pengaruh yang demikian besar terhadap kehidupan umat manusia.
Asal mula konflik agama-negara pada umumnya bersumber pada adanya klaim kebenaran. Terdapat dua kepentingan yang berkaitan dengan klaim ini. Pertama, klaim kebenaran sebagai alat peneguh keyakinan dan landasan normatif peribadatan. Kedua, menjadi alat pembenar (justifikasi) bagi perjuangan politik aliran. Celakanya, kepentingan kedua menjadi sangat dominan dalam kehidupan pemeluk agama di Indonesia. Baik dalam dimensi syariat maupun politik, klaim kebenaran timbul sebagai reaksi atas kegelisahan penganut agama dalam menghadapi pilihan. Di sinilah muncul ruang untuk menentukan pilihan berdasarkan pijakan berpikir masing-masing. Saling klaim kebenaran pada akhirnya memicu disharmoni dalam relasi sosial di masyarakat.
Namun demikian, agama merupakan salah satu aspek penting dalam proses pendirian negara, sehigga lahirnya ideologi Pancasila yang sila pertamanya menegaskan keesaan tuhan, “Ketuhanan yang maha esa” konstitusi negara Indonesia kemudian banyak mengakomodasi isu agama sebagai basis penyelesiaan masalah kebangsaan. Sila keempat yang menegaskan pentingnya musyawarah juga diyakini mengakomodasi konsep agama, misalnya Islam banyak menegaskan konsep pentingnya musyawarah (Naim, 2007: 400).
Pandangan senada diungkapkan Abdurrahman Wahid, bahwa ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat, melalui kesadaran masyarakat sendiri, dan bukan melalui perundangan negara dan melalui proses integrasi agama ke negara. Agama berfungsi suplementer terhadap kerancuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara. Transformasi agama ke dalam negara, merupakan langkah yang semi, pemisahan agama dan negara merupakan kebutuhan bangsa yang futuristik. (Maskyuri Abdullah dkk, 2005: 68).
Dalam konteks Indonesia, pandangannya ini merupakan rekonsiliasi konflik negara-agama. Hal ini menegaskan bahwa eksistensi, artikulasi, dan manifestasi nilai-nilai agama (Islam) yang instrinsik dalam negara lebih penting untuk dilakukan, sekaligus amat kondusif bagi upaya pengembangan nilai Islam dalam wujud kulturalisasi masyarakat dan dunia Islam modern. Sedangkan dari pemahaman yang lebih umum, gagasan ini merupakan counter wacana terhadap pemikiran yang mengidealkan bahwa Islam harus menjadi dasar negara. Pemikiran ini selaras dengan paradigma Islam yang melihat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem praktik yang harus diselenggarakan oleh umatnya, ataupun istilah-istilah teknis politik lainnya, kecuali nilai-nilai dan prinsip-prinsip etis tentang demokrasi, keadilan, egalitarianisme, persaudaraan, dan kebebasan yang justru bersifat universal, yang akhirnya sepanjang suatu negara tetap berpegang dan menyelenggarakan prinsip-prinsip universal itu, maka baik sistem maupun mekanisme yang dijalankan adalah benar menurut Islam.
Dalam spirit inilah, akan lahir sebuah pemahaman baru yang dapat menjadi energi positif bagi bangsa ini untuk perbaikan menuju negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofuur. Belajar dari kasus pembangunan masyarakat Madinah oleh Nabi Muhammad, kita pun dapat mencontohnya untuk memperbaiki bangsa dan negara ini di masa mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian segenap elemen bangsa ini.
Spirit universalisme yang ditancapkan Nabi SAW di Madinah harus dijadikan modal penting dalam mencipta babak baru kebudayaan dan tradisi di Indonesia. Karena, Indonesia sekarang sedang kehilangan jangkar nilai yang dapat dijadikan sandaran dalam penciptaan kreasi kebudayaan dan peradaban sehingga bangsa Indonesia mampu menapaki jalan pencerahan di masa depan. Dengan demikian, Indonesia diharapkan bisa bersaing dan sejajar dengan negara-negara modern di dunia.
Rekonsiliasi Islam idealnya harus dijalankan bersama rekonsiliasi agama-agama lain, yakni kemaslahatan bersama, kedamaian bersama, dan keadilan yang menjadi dambaan setiap makhluk. Islam dan negara dalam praktiknya memang tidak dapat dipisahkan, namun antara keduanya harus dilakukan pembedaan dalam dimensi dan cara pendekatannya.