Berdasarkan teori generasi Karl Mannheim (1923), para ahli sosiolog membagi manusia menjadi beberapa generasi; Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-Perang Dunia II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y (Milenial), dan Generasi Z. Istilah Generasi Z, menjadi semakin populer setelah digunakan saat presentasi oleh agen pemasaran Spark and Honey pada 2014, yang menyebutkan bahwa Generasi Z (disebut juga generasi digital atau generasi mileneal) adalah mereka yang lahir antara tahun 1995(tirto.id, 28/4/2017). Lebih lanjut, Bappenas (2018) menyebutkan bahwa jumlah milineal kini sebanyak 90 juta orang dari 260 juta penduduk Indonesia. Tentu saja kuota ini akan terus bertambah dari waktu ke waktu, dan generasi yang akan banyak mengisi bonus demografi 2030-2045 masuk golongan generasi digital. Tentu kita berharap, generasi digital memiliki karakter kuat sehingga siap menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 dan bonus demografi di era mendatang.
Perlu dipahami, karakteristik kuat generasi digital adalah kefasihannya dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh sebab generasi digital lincah menggunakan teknologi canggih, maka mereka hidup dengan limpahan informasi (pengetahuan). Mereka mudah mengambil dan menyebarkan informasi tersebut. Bahkan, tak jarang begitu asik bermain gadget sehingga rentan terbangun pola pikir instan, individualistis, tidak mandiri, dan tidak respek terhadap keberagaman.
Padahal, menjadi pribadi berkarakter mandiri, toleran, bertanggungjawab, bekerja keras, dan cerdas merupakan kunci sukses menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang sedang kita hadapi. Karenanya, pendidikan karakter generasi karakter perlu diarahkan pada konsep pembelajaran untuk mengasah kegiatan bernalar dan berargumentasi, yang mana menjadi pondasi terbangunnya kecerdasan, sikap mandiri dan tidak anti-keberagaman. Hanya saja, seringkali ini justru cenderung tidak menjadi fokus utama pendidikan di era informasi sekarang ini. Alhasil, kemampuan bernalar kritis, memecahkan masalah, dan rekonsiliasi permasalahan siswa menjadi minim. Anak sekadar bisa menghafal materi tanpa memiliki kecakapan karakter literer yang butuh penalaran yang mencakup: kegiatan mencerna, menganalisis, dan menyampaikan kembali dengan baik. Inilah di antara tantangan yang perlu dijadikan fokus pendidikan karakter saat ini.
Metode Pembelajaran
Generasi digital penuh pengetahuan, namun berisiko lemah dalam karakter cakap berpikir dan menerima perbedaan. Mereka cenderung tahu banyak hal, namun sulit mengkonstruksi pengetahuannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, perlu adanya revolusi metode pembelajaran yang harus kita lakukan.Pertama, kurangi metode ceramah. Kedua, fokus pada pembelajaran seumur hidup, bukan untuk ujian. Ini karena hal terpenting bukan hanya tentang apa yang mereka ketahui ketika mereka lulus, tapi juga untuk mencintai pembelajaran seumur hidup (Arifin, 2015). Para guru tidak perlu khawatir siswanya lupa tanggal peristiwa penting dalam sejarah, karena mereka dapat mencari informasi itu kapan saja dengan melalui buku maupun web. Para guru perlu mengajari mereka cara belajar, gemar membaca dan menulis, bukan hanya cara mengetahui.
Baca juga :Budaya Sebagai Basis Pembentukan Karakter Generasi Milenial
Ketiga, berdayakan para siswa untuk berkolaborasi. Kerja sama dan kolaborasi ini penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Berdasarkan pengalaman Uri Treisman, seorang profesor matematika di Universitas California-Berkeley, ia menemukan bahwa banyak mahasiswa kulit hitam yang awal mula nilai kalkulus-nya sangat jelek, lalu ketika konsep pembelajaran disusun agar semuanya bisa saling bekerja sama, prestasi para mahasiswa kulit hitam dapat meningkat pesat. Di sisi lain, kolaborasi juga akan mengasah sisi sensitifitas terhadap keberagaman dan saling menghormati satu sama lain.
Keempat, fokus pada pembelajaran konsep kesahihan, daripada konsep transfer pengetahuan. Mengenai ini, Iwan Pranoto, dalam tulisannya berjudulMenyelisik Kesahihan(Kompas, 6/12/2016), memberi gambaran menarik tentang pendidikan yang perlu mulai menggeser fokusnya dari konsep mentransfer pengetahuan atau kebenaran, menjadi berkonsep kesahihan. Kesahihan, tulis Iwan, adalah tentang nilai pada struktur pernyataan, berfokus pada kepaduan rangkaian argumen dalam menurunkan simpulan akhir. Inilah hal yang perlu diasah lewat pendekatan yang dilakukan guru saat berinteraksi dengan pemikiran muridnya. Dengan demikian, siswa tidak akan terjebak dengan maraknya informasi hoaks dan narasi radikal pemecah kebhinnekaan NKRI.
Berdasarkan Laporan Bank Dunia tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia menduduki peringkat terendah di antara negara-negara Asia. Hasil tes menyebutkan, siswa Indonesia hanya mampu memahami 36% dari materi bacaan, mereka kesulitan menjawab soal-soal uraian yang butuh penalaran dan analisis (Aan Hasanah, 2015). Data ini seolah mengkonfirmasi betapa lemahnya literasi kita yang diikuti dengan maraknya masyarakat yang terjebak dalam konsumsi informasi hoaks. Terbukti dengan maraknya berita hoaks yang bahkan lebih viral daripada berita lainnya.
Inilah sekadar gambaran konsep sekaligus metode pembelajaran karakter generasi digital menuju masyarakat beradab. Hal ini karena karakter cakap berpikir dan bernalar yang telah diasah sejak dalam pembelajaran, bukan hanya membuat murid mampu mengolah setiap informasi (pengetahuan) yang didapat tapi terbiasa dengan keberagaman. Kecakapan bernalar ini juga akan membuat murid memiliki kecakapan berkomunikasi, yang selanjutnya bermuara pada kecakapan sosial yang sangat dibutuhkan dalam berinteraksi di era global sekarang.Ini menjadi modal penting dalam membangun masa depan Indonesia yang maju, mandiri, beradab, berbudaya, serta tidak mudah terpecah-belah oleh berita hoaks dan paham radikal. Wallahu a’lam bish-shawaab.