Mewujudkan Kebhinnekaan Nirkekerasan

Mewujudkan Kebhinnekaan Nirkekerasan

- in Narasi
2911
0

Indonesia atau sejak lama disebut Nusantara terkenal memiliki khasanah yang kaya dalam berbagai aspek, seperti budaya, sosial, ekologi, dan lainnya. Khasanah tersebut berbentuk tangible maupun intangible.

Oleh karenanya Indonesia dikenal dunia sebagai “megacultural diversity” (Zada, 2012). Tidak kurang dari 250 kelompok etnis, 749 bahasa daerah, ribuan hingga jutaan nilai kearifan lokal, dan lainnya dimiliki bangsa ini.

Sangat tepat jika founding fathers NKRI menentukan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Komitmen kebangsaan menyatukan segala variasi yang ada. Kasus di lapangan memang masih diakui terdapat gesekan-gesekan kecil antar SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Namun sejauh ini segala potensi konflik mampu diredam dan kembali dipersatukan dalam bingkai NKRI.

Indonesia menempati peringkat ke-42 dari 163 negara dalam aspek keterbebasan konflik. Ongkos kekerasan yang mesti ditanggung secara nasional sebesar USD 84,2 miliar. Penilaian ini berdasarkan Indeks Perdamaian Global 2016 yang diluncurkan oleh Institute for Economics and Peace (IEP).

Posisi Indonesia memang masih dibawah Malaysia (peringkat ke-30) dan Singapura (20). Hal ini wajar mengingat heterogenitas bangsa ini jauh lebih banyak dan kompleks. Hanya 10 yang dianggap bebas konflik, yaitu Islandia, Denmark, Austria, Selandia Baru, Portugal, Republik Ceko, Swiss, Kanada, Jepang, dan Slovenia. Negara-negara tersebut juga dapat dikatakan jauh lebih homogen.

Scannell (2010) memaparkan, bahwa konflik adalah suatu hal ­alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ke tahap polari­sasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi objektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komuni­ka­si). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik mema­suki tahap destruktif.

Semua entitas bangsa ini telah sepakat berada dalam bingkai NKRI dan tentunya memiliki kesamaan semangat untuk terus menjaga persatuan, perdamaian, serta terbebas dari konflik dan kekerasan. Kebhinnekaan nirkekerasan menjadi keniscayaan yang dipahami semua golongan.

Salah satu kunci mewujudkan kebhinnekaan nirkekerasan adalah terciptanya toleransi. Toleransi yang proporsional pada wilayah kesepakatan. Toleransi kebangsaan dan menghindari kekerasan menjadi salah satu kesepakatan jamak semua komponen bangsa.

Istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin “tolerate” yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Susan Mendus (dalam Abdillah, 2015) membagi toleransi menjadi toleransi negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance). Toleransi negatif hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tak menyakiti orang/kelompok lain. Sedangkan toleransi positif juga membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan kelompok lain.

John Locke (dalam Chaniago, 2015) menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat.

Salah satu nilai budaya atau kearifan lokal yang memiliki semangat nirkekerasan misalnya budaya Jawa. Kearifan budaya Jawa berupa nilai-nilai luhur (value) dan keyakinan (beliefs) yang menjadi pedoman atau rencana perilaku serta dasar memecahkan masalah yang berlaku antar generasi. Sri Sultan Hamengku Buwono I telah meletakkan dasar filosofi dengan falsafahHamemayu Hayuning Bawono.

Hamemayu Hayuning Bawonodiletakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai visi kehidupan masyarakat Jawa. Maknanya adalah komitmen untuk membuat bumi indah dan lestari (sustainable). Muara aplikatif dari nilai filosofis-kultural itu adalah terbentuknya sikap Satriya (Marwito, 2005). Sikap ini membawa perilaku penuh tanggung jawab, konsisten, amanah, dinamis, dan obsesif. Visi kultural ini menegaskan komitmen perdamaian dan anti kekerasan. Keberlanjutan akan tercapai jika tercapai kondisi damai dan nirkekerasan.

Berbagai regulasi juga telah hadir guna mengatur implementasi toleransi dan kehidupan damai di negeri ini. Antara lain dengan ratidua instrumen HAM internasional yakni International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) pada 26 Oktober 2005. Selain itu ada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Kaitannya dalam perlindungan hak-hak beragama, telah ditambahkan Pasal 28E, 28I dan 29 dalam amandemen UUD 1945 serta Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Kebhinnekaan nirkekerasan akan terwujud jika keadilan dirasakan semua golongan. Pembangunan mestinya tidak bias Jawa dan bias kota. Interaksi kultural dam even budaya se-nusantara penting diintensifkan. Hukum mesti jadi panglima dan tidak pandang latar belakang SARA. Semua komponen juga mesti dilibatkan aktif dalam seluruh proses pembangunan bangsa.

Facebook Comments