Waktu sangat cepat meninggalkan kita, ia terus berganti dengan putaran yang baru. Kini, kita telah bersiap meninggalkan bulan Ramadhan. Mari kita lupakan terlebih dahulu segala hal material yang berkaitan dengan lebaran. Kita pinggirkan barang sebentar untuk memikirkan sesuatu yang lebih esensial di penghujung bulan suci ini.
Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah, bulan pahala, bulan di manaRabbdan ampunan-Nya sangat dekat dengan umat. Dalam upaya memperbaiki rohani dan menemukan jati diri, seberapa besar Ramadhan memberikan dampak kepada kita, seberapa sukses amalan-amalan berhasil merubah kepribadian kita, sehingga bisa dikatakan kita berhasil melakukan inner journey. Kesuksesan Ramadhan adalah ketika kita telah menemukan kebaikan spiritual dalam diri kita.
Mari berilustrasi. Berapa lama kita pernah belajar bahasa Inggris? Kita mungkin akan menjawab sejak SMP sampai SMA. Artinya, sebagian dari kita sudah pernah belajar kurang lebih selama enam tahun. Terlebih jika melanjutkan ke kuliah.
Pertanyaan berikutnya, apakah kita sudah bisa bahasa Inggris dari hasil belajar selama enam tahun tersebut? Sayakokyakin sebagian besar akan menjawab “belum bisa” atau minimal “tidak lancar”. Buktinya, kalau mau tes TOEFL masih harus ikut les bahasa Inggris atau semacamya secara intensif untuk meraihscorekelulusan yang ditargetkan. Artinya, belajar enam tahun itu seakan hanya sambil lalu saja karena kita tidak mempunyai target. Kita belajar hanya sebagai formalitas mata pelajaran wajib untuk kepentingan “estetika” rapor.
Sekarang, kita coba kaitkan dengan Ramadhan-Ramadhan yang telah kita jalani selama ini. Berapa kali bulan Ramadhan sudah kita lewati? Jawabannya pasti berbeda-beda sesuai dengan usia kita masing-masing.
Kalau kita sudah pernah melewati Ramadhan berkali-kali, bahkan lebih dari enam kali, mari kita bertanya kembali, sudahkah kita raih hasil dari Ramadhan? yaitu predikat takwa dan ampunan Allah Swt? Sebagian kita mungkin hanya meratap kosong sembari terus bertanya-tanya.
Mari pelan-pelan kita bandingkan dengan analogi sebelumnya. Mengapa kita belum bisa bahasa Inggris dari hasil belajar di sekolah yang bertahun-tahun itu? Bahkan perlu ditambah kursus intensif? Jawabannya adalah “tujuan”.
Di level makro, penting untuk menentukan resolusi kebangsaan pasca Ramadhan. Jika Muslim adalah penduduk mayoritas di Indonesia, maka asumsikan saja seluruh bangsa ini sedang berpuasa. Jika bangsa ini terus berpuasa, maka seharusnya perilaku kolektifnya harus menunjukkan karakter sebagai bangsa yang baik.
Tidak jauh berbeda dengan Ramadhan. Allah Swt. sudah menunjukkan tujuan Ramadhan yaitu membentuk diri menjadi manusia yang bertakwa. Namun, kalau visi tersebut tidak terpatri dalam hati kita; tidak terfokus di depan mata kita, maka Ramadhan akan berlalu begitu saja tanpa ada hasilnya. Kecuali hanya lapar dan dahaga saja.
Nabi Muhammad sudah pernah memprediksi fenomena seperti ini dalam hadisnya,
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الظَّمَأُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
“Betapa banyak orang yang shaum, tidaklah memperoleh apa-apa baginya dari shaumnya selain lapar, dan betapa banyak orang yang mendirikan shalat, tidaklah memperoleh apa-apa baginya dari shalatnya kecuali lelah”.(H.R. Ad-Darimi dari Abu Hurairah)
Dalam hemat penulis, implikasi dari hadis tersebut bukan hanya persoalan yang bersifat vertikal, namun juga implikasi sosial dalam tataran horizontal. Jika Ramadhan akhirnya hanya berhasil melatih kita menahan dahaga, maka sesungguhnya kita telah gagal menimba hikmah di dalamnya. Ramadhan sejatinya membentuk manusia menjadi pribadi yang mampu meredam egoisme, menahan amarah, dan memforsis kebencian. Nilai-nilai ini juga yang akan dilihat pada umat Muslim setelah melalui puasa sebulan.
Kenyataannya masih dijumpai fenomena menurunnya karakter individu maupun bangsa, dalam bahasa lain bisa disebut degradasi karakter. Indikatornya antara lain, meningkatnya kekerasan di masyarakat, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, meningkatnya perilaku intoleransi, semakin rendahnya sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain, dan adanya saling curiga dan kebencian antar sesama.
Tulisan ini adalah refleksi dalam rangka melakukan munasabah nasional untuk mengajak masyarakat untuk terlibat dalam amalan-amalan yang membawa manfaat kepada keharmonian sosial. Agenda seperti bakti kepada masyarakat, gotong-royong, dan projek-projek pembangunan komuniti berperanan besar dalam membentuk masyarakat yang lebih bermakna dan berkualititas.
Meskipun refleksi kita merasa hasil Ramadhan tahun ini tidak memuaskan, atau bahkan tidak berhasil sama sekali. Bukan berarti sekarang kita menyerah. Masih ada kesempatan besar yang diberikan Allah Swt. selama nafas masih di tenggorokan, selama hayat masih di kandung badan, berarti masih ada harapan untuk melakukan perubahan. Pastinya, ke arah yang lebih baik.
Munasabah nasional selepas Ramadhan membawa harapan baru untuk membangun masyarakat yang lebih bersatu dan harmoni. Ia menggariskan satu perjalanan kolektif untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai keagamaan dalam konteks kebangsaan. Dengan komitmen bersama, kita dapat memperkukuhkan identiti kebangsaan yang diilhamkan oleh nilai-nilai ketuhanan, keadilan, dan kasih sayang. Semoga Munasabah Nasional menjadi titik tolak untuk transformasi positif dalam masyarakat kita.