Indonesia ditakdirkan menjadi bangsa multikultural sebagai konsekuensi dari kemajemukan masyarakat. Di sini semua keanekaragaman, baik suku, budaya, bahasa, ras, dan agama dijamin hidup dan berkembang. Keanekaragaman itu pasti melahirkan perbedaan. Potensi konflik selalu membayangi perbedaan.
Di sinilah moralitas yang diajarkan agama menjadi penting untuk memastikan kehidupan bernegara dan berbangsa yang damai. Prinsip kedamaian, saling menghormati, dan tolong menolong merupakan jalan kebangsaan yang harus dimiliki oleh seluruh elemen masyarakat.
Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, populasi Muslim Indonesia adalah yang terbanyak di seluruh dunia. Kenyataan itu harus menjadi cambuk agar para penganut agama ini menjadi teladan dengan memberi kontribusi besar untuk bangsa, khususnya di bidang akhlak atau moral.
Mengapa akhlak? Karena faktanya memang sejak beberapa dekade terakhir moralitas bangsa mengalami proses degradasi. Bangsa ini tak bisa menutup Mata dan Telinga dengan pemberitaan sehari-hari tentang kabar pencabulan, perjudian, peredaran obat terlarang, minuman keras, pembunuhan, pembegalan, korupsi, hingga bunuh diri. Kejahatan yang mempertanyakan keadaban bangsa ini terjadi dimana-mana, lintas usia dan status sosial, dari rakyat biasa sampai pejabat negara.
Dalam kacamata agama, menjadi pribadi berakhlak dapat terlihat dari dua sifat, takhliyah dan tahliyah. Takhliyah adalah pembersihan diri dari akhlak buruk. Tahliyah adalah menghiasi diri dengan akhlak baik. Mewujudkan takhliyah dan tahliyah tentu tidak mudah karena pasti ada tantangannya.
Tantangan untuk memiliki akhlak diri yang lebih baik justeru datang dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa agama, akhlak buruk berasal dari penyakit hati. Berawal dari hati lalu berubah menjadi tindakan. Karena itu, menghindarkan diri dari gangguan penyakit hati menjadi hal yang utama untuk disikapi.
Dalam hal ini secara khusus ada dua penyakit hati yang perlu diwaspadai, yaitu al-Bathar (sombong) dan al-Riya (berbuat baik untuk dipuji). Kesombongan akan membawa manusia pada sikap merasa benar dan merendahkan manusia lain. Mereka yang terjangkit virus ini akan dengan mudah memusuhi sesamanya yang berbeda pandangan dengannya. Kesombongan merupakan ego dasar yang ada pada diri manusia yang perlu ditundukkan.
Alquran Surat at-Taubat ayat 25-26 melukiskan dampak sifat dan sikap yang sombong. Orang-orang yang sombong akan jauh kehilangan akal sehatnya. Mereka akan mudah mengambil keputusan atau bersikap terhadap orang lain dengan cara tidak berdasar. Orang sombong over istimasi tentang dirinya dan sebaliknya under estimasi tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya.
Sementara Riya’ akan mengantarkan orang menuju kesombongan dan sikap merasa paling benar. Orang-orang seperti ini selalu ingin menunjukkan apa yang ia anggap baik ke hadapan orang lain. Namun sayang, iktikad tersebut lahir dari perasaan agar ia dihormati dan didengar. Sikap ini berasal dari hati lalu merambat di pikiran, mulut, dan aktifitas. Dengan memakai baju atau simbol agama misalnya, mereka ingin dipandang sebagai orang yang soleh dan sesuai dengan jalan Tuhan. Dari sini lalu lahir pula kesombongan.
Dua penyakit hati tadi harus mulai dimusnahkan dari diri kita untuk membangun peradaban Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebuah Indonesia yang diisi oleh orang-orang yang saling menghormati, menyayangi, dan menghargai sesamanya. Keinginan individu Muslim menjadi yang lebih baik di lingkungannya pasti akan membawa perubahan signifikan bagi Indonesia. Karena sebagaimana kita tahu, sekitar 87% persen penduduk Republik ini menganut Islam. Semoga.