Mutasi Sel Teroris; Ancaman Wabah Propaganda Ekstremisme Digital

Mutasi Sel Teroris; Ancaman Wabah Propaganda Ekstremisme Digital

- in Narasi
4
0
Mutasi Sel Teroris; Ancaman Wabah Propaganda Ekstremisme Digital

Fenomena terorisme di Indonesia mengalami fluktuasi. Itu kenyataan yang harus diakui. Angka terorisme mengalami naik-turun. Kita patut bersyukur, dalam dua tahun, mulai 2023 dan 2014 ini Indonesia bebas dari aksi teror.

Apresiasi harus kita berikan pada Densus 88, BNPT, dan stakeholder terkait yang gencar melakukan pendekatan lunak pada jaringan radikal-ekstrem. Pembubaran diri Jamaah Islamiyyah secara sukarela tempo hari adalah bukti valid keberhasilan soft-approach dalam menanggulangi terorisme.

Sejumlah kalangan pun beranggapan, bubarnya JI ditambah dengan nihilnya aksi teror itu adalah sinyalemen kemenangan kita melawan terorisme. Bahkan, ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa inilah akhir dari perang melawan terorisme. Benarkah demikian?

Pertanyaan itu bisa dijawab dengan terlebih dahulu kita memahami terorisme sebagai ideologi sekaligus gerakan atau sebuah organisasi. Sebagai sebuah ideologi, terorisme akan terus eksis selama faktor pendukungnya masih ada. Apa saja faktor pendukung terorisme itu? Salah satunya adalah masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan pro-kekerasan. Selama model masyarakat yang seperti itu masih ada, maka ancaman terorisme belum sepenuhnya dapat dieliminasi.

Ideologi teror itu tumbuh di atas kondisi sosial-politik yang konfliktual. Masyarakat yang mudah marah dan gampang diprovokasi untuk terpecah-belah adalah lahan subur bagi berkembanganya ideologi radikal-teror. Ironisnya, itulah yang kita hadapi saat ini. Angka teror memang nihil, namun kasus intoleransi dan persekusi atas nama agama justru kian masif terjadi.

Faksionalisasi Gerakan Teroris

Sedangkan sebagai sebuah organisasi atau gerakan, terorisme itu tidak tunggal. Ada berbagai macam faksi gerakan teroris, yang meski sama-sama pro-kekerasan, namun mereka punya agenda atau misi yang berbeda. Dalam perjalanannya, mereka pun acapkali saling menyalahkan, bahkan mengkafirkan satu sama lain.

Tidak hanya itu, dalam satu organsisasi teror pun, dipastikan ada faksi-faksi yang saling berseberangan. Di dalam tubuh Jamaah Islamiyyah misalnya, ada faksi yang pro-pembubaran, namun ada juga faksi yang kontra-pembubaran. Faksi yang menolak pembubaran inilah yang kemungkinan besar akan bergabung dengan sel-sel teroris kecil seperti Jamaah Ansharut Tauhid atau Jamaah Ansharu Daulah.

Tidak hanya isu faksional, sebagai sebuah organisasi dan gerakan, terorisme juga mengalami semacam mutasi sel. Yakni fenomena perubahan strategi dan pola gerakan terorisme. Sebagai sebuah organisasi dan gerakan, harus diakui bahwa terorisme memiliki kemampuan resiliensi yang nisbi tinggi. Terorisme bisa bertahan dalam segala ujian dan tekanan.

Mereka lihai berkamuflase dan bertransformasi, menyiasati keadaan yang serba membatasi pergerakan mereka. Kemampuan resiliensi ini tampak pada perubahan strategi perekrutan yang belakangan tidak lagi dilakukan dengan tatap muka, namun melalui sarana komunikasi digital. Juga pada perubahan pola serangan yang belakangan lebih mengandalkan aksi tunggal dengan sasaran masyarakat umum dan persenjataan seadanya.

Dua kasus teror penabrakan mobil di Jerman dan Amerika pada momen Natal 2024 lalu adalah sinyalemen kuat bahwa sel tidur terorisme itu masih ada. Sel-sel terorisme itu belum sepenuhnya mati, namun hanya tiarap dan menidurkan diri agar tidak terendus aparat keamanan. Mereka melakukan rekrutmen dan konsolidasi bawah tanah, sembari menunggu momentum untuk bangkit.

Optimisme sel tidur teroris saat ini dipastikan tengah ada di puncaknya. Kemenangan kelompok milisi jihadis Hayat Tahrir al Sham di Suriah pasti menjadi suntikan stimulus semangat bagi sel tidur terorisme. Sebelumnya, kemenangan Taliban di Afghanistan juga menjadi suplemen penting bagi sel-sel tidur terorisme.

Waspada Mutasi Sel Teroris

Ke depan, mutasi sel teroris inilah yang patut diwaspadai. Ada setidaknya dua model mutase sel terorisme. Pertama, mutasi proliferasi, yakni munculnya sel-sel teroris baru dari sel-sel lama yang sudah eksis sebelumnya. Kedua, mutasi yang sifatnya individual, yang lantas melahirkan apa yang disebut sebagai lone-wolf terrorism. Yakni dari satu sel lahirlah aksi-aksi tunggal yang sporadis dan parsial.

George Michael, sebagaimana dikutip Muzakki, telah mengingatkan bahwa fenomena “lone wolf terrorism” lebih menimbulkan gangguan sosial (social nuisance) daripada badai politik (political storm). Tapi, penting dicatat mutasi sel dalam bentuk sporadis melalui fenomena “lone wolf terrorism” tersebut tetap akan mengganggu sebuah negara.

Hakikat bahaya terorisme itu bukan sekadar pada besarnya aksi atau jumlah korban dan efek kerusakan yang ditimbulkan. Besar atau kecil sebuah aksi teror, bahkan yang dilakukan dengan aksi lone-wolf, pada dasarnya sama-sama berbahaya dan punya efek destruktif yang mengerikan.

Hakikat terorisme adalah gangguan terhadap stabilitas keamanan dan pertahanan nasional. Sebuah aksi teror tunggal kecil yang tidak menimbulkan korban, namun dengan efek pemberitaan yang masif tentu akan berdampak signifikan. Antara lain terhadap situasi psikologis masyarakat, bahkan sampai menurunnya kepercayaan internasional.

Maka, kita tidak boleh terlalu terbuai oleh status zero terrorist attack atau pembubaran diri JI. Masih ada faksi-faksi kecil teroris berwujud sel-sel tidur yang sampai saat ini eksis. Mereka bergentayangan di kanal-kanal maya, menebar mimpi utopis tentang negara atau kekhailfahan Islam, untuk menarik perhatian generasi Z.

Propaganda ekstremisme di ruang digital inilah yang menjadi ancaman di masa depan. Harus diakui, memang tidak mudah mengawasi ruang digital yang serba bebas dan nyaris tidak ada batasan. Ratusan situs penyebar paham ekstremisme diberangus pemerintah. Namun, ratusan bahkan ribuan situs baru penyebar ekstremisme bermunculan.

Facebook Comments