Genjatan senjata antara militer Israel dan sayap miiter Hamas, Brigade Izzuddin Al-Qassam, membawa angin segar bagi rakyat Palestina setelah 11 hari berada dalam bayang-bayang penindasan. Israel akhirnya mendengarkan saran Mesir untuk melakukan genjatan senjata setelah sebelumya bersikukuh untuk terus menggempur Palestina. Hamas mengklaim bahwa genjatan senjata tersebut merupakan kemenangan kubu resistensi atas Zionis Israel. Selain itu rakyat Palestina menyambut kesepakatan tersebut dengan penuh suka cita.
Di sisi lain, Pemerintah Israel terus mendapatkan kecaman atas penyerangan ke Palestina. Tidak hanya dari dunia luar, kritik dan kecaman atas Israel juga datang dari dalam. Yitzhak Brik, purnawirawan Jenderal Israel, misalnya, menilai bahwa selama perang 11 hari Israel telah gagal menghentikan serangan roket Hamas. Sedangkan The Jarussalem Post menulis bahwa Israel memang memenangkan pertempuran, tetapi Hamas yang memenangkan peperangan.
Setelah genjatan senjata lalu apa? Apakah konflik Israel-Palestina akan berakhir? Sebagaimana dipahami, konflik Israel-Palestina terjadi atas dasar praktik kolonialisme. Selama penyerobotan tanah —yang merupakan akar masalah utama –belum berakhir maka konflik Israel-Palestina akan terus berulang. Bersamaan dengan ini ramai-ramai untuk membela dan mengutuk konflik antar keduanya juga akan berulang. Pembelahan dalam tubuh masyarakat juga tidak bisa dihindarkan.
Hal itu dapat dipahami karena pemerhati koflik Israel-Palestina tidak tunggal. Terdapat berbagai macam kelompok masyarakat dalam merespon konflik antar keduanya. Pertama, kelompok yang melihat konflik secara parsial karena akses informasi yang didapatkan tidak utuh. Menganggap konflik hanya terjadi antara militer Israel dan Hamas, sehingga Indonesia tidak semestinya ikut campur terlalu dalam.
Kedua, kelompok yang melihat konflik Israel-Palestina sebagai konflik agama, sebagaimana dipahami kelompok keagamaan eksklusif-puritan. Narasi yang dimunculkan kemudian ialah gerakan ‘Jihad’ dan semacamnya. Ketiga, kelompok yang melihat kekerasan Israel di Palestina sebagai akibat dari praktik kolonialisme, absennya rasa keadilan, dan penyerobotan tanah yang sewenang-wenang. Kelompok ini memahami konflik dari sudut pandang sejarah dan sosio-geopolitik.
Yang patut diwaspadai ialah munculnya narasi dan gerakan senyap dari kelompok kedua, yang sengaja memanfaatkan sentimen agama dan ketertindasan rakyat Palestina untuk menegaskan eksistensinya. Hal ini yang dilakukan sempalan organisasi Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa waktu terakhir ketika melakukan aksi solidaritas Palestina. Ormas yang sudah dibubarkan Pemerintah ini menggaungkah Khilafah sebagai solusi perdamaian di Palestina.
Solidaritas eksklusif para pengasong khilafah ini terjadi karena kegagalan mereka memahami persoalan dan kebutuhan dasar rakyat Palestina. Yang dialami rakyat Palestina adalah murni penjajahan, dan mereka membutuhkan solusi konkrit untuk mengakhiri penindasan. Sedangkan solusi khilafah merupakan narasi absurd yang rekam jejaknya terbukti gagal di tanah kelahirannya sendiri dan ditolak di berbagai negara.
Apakah salah kalau HTI membela Palestina? Tentu tidak salah. Siapapun boleh membela Palestina. Namun, membela dalam rangka melakukan pembebasan, memperjuangkan kemerdekaan, bukan dalam rangka menyusupkan kepentingan. Membela untuk memberi solusi perdamaian, bukan malah melahirkan persoalan turunan dengan mengasongkan khilafah yang ideologi politiknya mengenalkan semacam utopia. Yaitu membayangkan tatanan dunia yang ideal dengan menciptakan negara Islam global.
Tentu solusi absurd ala Hizbut Tahrir masih penuh anomali dan tidak kompatibel dengan hajat hidup bangsa Palestina. Ada beberapa faktor yang mendasari hal tersebut. Pertama, Palestina tidak pernah bermimpi untuk menjadi negara Islam. Sistem pemerintahan Palestina berbentuk republik semi-presidensial, dan telah beberapa kali melakukan pemilihan umum yang diikuti oleh dua partai utama, yaitu Hamas dan Fatah.
Kedua, hajat perjuangan rakyat Palestina selama ini ialah mengupayakan terbentuknya negara yang merdeka dan berdaulat. Nasionalisme rakyat Palestina akan tanah air tidak pernah diragukan meski nyawa mereka menjadi taruhan. Dalam konteks ini nasionalisme bangsa Palestina yang kuat tidak beririsan dengan cara pandang pengasong khilafah yang menolak nasionalisme. Menariknya, penolakan Hizbut Tahrir terhadap nasionalisme berbenturan dengan cara pandang saudara kandungnya sendiri, Hamas. Meski sama-sama lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin, Hamas memandang nasionalisme (wataniyyah) sebagai bagian dari keyakinan agama.
Ketiga, dalam konteks keberislaman, pemahaman tentang khilafah tidak tunggal adanya. Ada banyak versi tentang khilafah Islamiyah di luar gagasan yang dikenalkan oleh kelompok Hizbut Tahrir. Sunni mempunyai pemahaman tersendiri, beigtupula dengan kelompok Syi’ah. Bahkan kelompok Ahmadiyah juga mempunyai pemahaman sendiri tentang khilafah. Karena itu, narasi khilafah yang masih abu-abu dan tidak jelas bentuknya bukan solusi yang pas bagi Palestina. Rakyat Palestina sedang berjuang untuk bebas dari penjajahan, bukan sedang berebut mana sistem khilafah yang paling benar. Karena itu, narasi dan gerakan khilafah hanya menjadi setitik noda yang mengotori kesucian perjuangan rakyat Palestina dalam merebut kemerdekaan.