Mungkin kelompok yang paling menyebalkan di bumi ini adalah para pengusung dan pengasong khilafah. Bagaimana tidak, setiap ada suatu kejadian atau kasus, maka mereka buru-buru langsung menyodorkan khilafah sebagai solusi. “Semua masalah akan selesasi jika khilafah ditegakkan di muka bumi ini” itu kalimat yang mereka ulang-ulang.
Hal yang sama juga mereka lakukan ketika konflik Israel-Palestina memanas dan menyedot perhatian dunia. Mereka langsung berkoar-koar di media sosial bahwa masalah Israel-Palestina hanya bisa selesasi jika khilafah tegak. Palestina bisa aman hanya kalau khilafah Islamiyah berdiri.
Di tengah arus pembelaan manusia terhadap Palastina, para pengusung khilafah ini berkampanye dengan mati-matian bahwa khilafahlah jalan keluar itu. Dengan khilafah tidak ada lagi penjajahan. Dengan khilafah tidak ada lagi kezaliman terhadap dunia Islam.
Tidak sedikit yang terpancing oleh kampanye mereka ini. Banyak anak muda yang tergiur dan kemudian mau ikut menyuarakan bahwa khilafah adalah solusi satu-satunya. Bagi mereka, solusi yang diberikan dunia apalagi yang diberikan oleh PBB hanyalah solusi jangka pendek, bahkan itu hanya hitam di atas putih, tak ada realisasinya dalam praktik.
Solusi yang nyata, bukan hanya hitam di atas putih, tetapi riil dalam realita hanyalah khilafah. Bernarkah klaim mereka bahwa khilafah adalah solusi yang nyata? Benarkan khilfah adalah jaminan akan keamanan Palestina?
Berkaca pada Sejarah
Nyatanya apa yang para pengusung khilafah lontarkan itu hanyalah omong kosong belaka. Itu hanyalah khayalan mereka. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Sebab, dalam fakta sejarah, khilafah –atau lebih spesifik—Hizbut Tahrir (HT) justru “keok” di Palestina, tempat lahirnya HT pertama kali.
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Baitul Maqdis, Palestina oleh Taqiyuddin An-Nabhani. Sejak berdiri Taqiyuddin An-Nabhani sudah berokoar-koar, sebentar lagi khilafah akan beridiri di mukan bumi. Itu diucapkan oleh An-Nabhani sejak tahun 50-an.
Nyatanya sampai sekarang apa yang mereka omongkan itu hanya khayalan dan omong kosong, tak ada bukti konkritnya. Jadi kalaulah sekarang mereka mengatakan bahwa khilafah adalah solusi konflik Palestina-Israel. Mereka ibarat orang mimpi di siang bolong. Mereka lupa sejarah mereka sendiri.
Khilafah lahir di Palestina tahun 1953. Kalaulah khilafah itu sebagai solusi terhadap kedamaian Palestina, mengapa tidak sejak dulu, sejak lahirnya Hizbut Tahrir, mereka mewujudkan itu? Bukankah konflik Israel-Palsetina sudah ada sejak tahun 1948?
Para pengusung dan pengasong khilafah itu hanyalah kaum pengkhayal yang lupa sejarah. Mereka hanya tukang kompor yang mendramatisasi sesuatu, seolah-olah kehebatan Islam zaman dulu adalah jawaban terhadap segalanya. Apa yang mereka omongkan hanyalah jualan ideologi kelompok mereka.
Awas Penumpang Gelap
Oleh seba itu, dalam solidaritas kemanusiaan yang tulus membela Palestina jangan sampai ditumpangi oleh para pengusung dan pengasong khilafah yang justru memanfaatkan situasi. Harus dicatat, mereka itu sangat lihai membaca situasi dan jago memainkan drama dan memainkan opini.
Penumpang gelap di balik kampanye #FreePalestina yang dilakukan oleh para pengusung khilafah ini sangat berbahaya. Perjuangan yang seharusnya didasarkan atas dasar kemanusiaan, bahwa tidak boleh ada penjajahan di muka bumi ini, justru menjadi sektarian ketika ditumpangi olah oknum-oknum kaum khilafais yang tidak bertanggungjawab.
Jika mereka dengan pe-de-nya mengatakan khilafah sebagai solusi atas Palestina. Pernyataan itu harus disanggah dengan segara, bukankah khilafah itu justru keok di Palestina, tempat lahirnya Hizbut Tahrir sendiri? Akhirnya, apa yang mereka kampanyekan hanyalah retorika semata yang tak ada bukti riilnya. Benar apa yang dikatakan oleh Ainur Rafiq Al-Amin penulis buku Membongkar Proyek Khilafah, bahwa para pengusung khilafah itu layak mendapatkan piala sebagai penghayal terbesar abad ini.