NII dan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT)

NII dan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT)

- in Analisa
183
0
NII dan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT)

Menjerat gerakan dan ideologi Negara Islam Indonesia (NII) sebelumnya sangat menyulitkan. Negara tidak mampu berbuat banyak dengan gerakan ini karena landasan hukum yang rapuh. Dicabutnya UU Anti subversi Nomor 11/ PNPS /1963 menjadi ruang berkembangnya gerakan bawah tanah seperti NII untuk leluasa merekrut, menggalang pendanaan dan menyiapkan gerakan dengan nyaman. Sementara, jeratan UU Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 belum mampu menjangkau gerakan mereka. Lantas negara diam dengan kelumpuhan aturan ini?

Sejumlah lembaga pemerintah seperti Polri melalui Densus 88, BNPT dan PPATK mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memasukkan NII dalam entitas orang dan korporasi pada Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Jika ini dikabulkan tentu saja jeratan tindak pidana terorisme akan lebih mudah diterapkan sebagaimana dalam menangani organisasi seperti JI, JAD, JAT, MIT, dan lainnya. Tidak ada kegamangan hukum dalam menindak aktivitas perekrutan, penggalangan dana, indoktrinasi dan gerakan kamuflase lembaga pendidikan yang dilakukan oleh NII.

Pengabulan permohonan Kapolri oleh Mahkamah Agung tentang penetapan NII dalam DTTOT tentu memberikan titik terang penegakan hukum terhadap aktivitas gerakan bawah tanah tersebut. Selama ini, NII dengan beragam aktivitasnya telah cukup meresahkan di berbagai daerah. Gerakan ini ibarat gerakan kecil dalam bentuk negara dalam negara yang terus bermimpi mengganti ideologi dan sistem negara yang ada saat ini.

NII sebagai Induk Teror

Secara historis, NII merupakan kelompok pemberontak yang mempolitisasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Gerakan yang dimotori oleh Kartosuwiryo memiliki impian menegakkan negara Islam. Gerakan perlawanan terhadap negara yang baru merdeka dimulai sejak tahun 1949 yang mencapai puncaknya pada tahun 1962. Secara organisasi, NII dilumpuhkan, tetapi secara ideologi terus bergentayangan membentuk faksi-faksi baru.

Secara ideologi, gerakan ini tetap hidup dan mengilhami beberapa aktivis dan anggotanya untuk melompat ke arah yang lebih ekstrem dalam gerakan dan organisasi teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS. Tidak salah jika dikatakan bahwa ibu kandung terorisme di Indonesia adalah NII. Begitulah pengakuan salah satu mantan anggota NII.

Jamaah Islamiyah yang telah tercantum dalam DTTOT merupakan anak turunan dari NII yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Lahirnya JI merupakan ketidakpuasaan terhadap gerakan NII yang hanya bersifat lokal. JI membuka peluang untuk berjejaring secara gerakan yang lebih luas. JI kemudian berafiliasi secara global dengan al-Qaeda memainkan peran cukup penting dalam rentetan aksi teror di Indonesia di awal tahun 2000an.

JI yang kemudian menjadi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terpecah dan berdiaspora dengan membentuk jaringan teror di Indonesia seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Khilafah (JAK).

Menurut Nasir Abbas, mantan Petinggi JI, yang telah masuk NII sejak 1987 menegaskan bahwa aksi teror pada awal tahun 2004 berakar dari NII. Sejak bom Kuningan, menurutnya, NII telah unjuk gigi yang berkolaborasi dnegan Noordin M Top. Begitu pula, pelatihan teroris di Aceh yang menghebohkan kala itu adalah bagian dari bentukan NII yang meminta dukungan saat itu kepada Abu Bakar Baasyir.

NII Sudah Tidak Bahaya?

Apakah NII saat ini vakum dan tidak layak ditakuti? Pada Maret 2022 Densus 88 AT Polri menangkap 16 anggota NII di Sumatera Barat. Pada 16 Desember yang lalu 3 anggota NII juga ditangkap di Banten. Sepanjang tahun 2023, Densus telah mengamankan 142 tersangka terorisme dan 5 di antaranya adalah anggota jaringan NII. Jika dibandingkan tahun 2022, ada 247 yang diamankan dengan 28 orang adalah anggota NII.

Melihat sebaran itu, NII sejatinya bukan hanya induk, tetapi juga masih eksis membangun jaringan, penguatan kaderisasi, pendanaan dan pelatihan untuk memperkuat organisasinya seperti organisasi teror lainnya. Bagi NII, doktrin yang diterapkan bahwa NKRI telah lama menjajah NII. Karena itulah, membutuhkan gerakan dan kader untuk melawan dan merubah ideologi dan sistem negara ini.

Proses pererkutan dan kaderisasi NII tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Kabar yang pernah menghebohkan, misalnya, tahun 2021 sebanyak 59 anak dibaiat oleh NII yang digelar di sebuah masjid di Garut. Di Sumbar menurut data kepolisian ada sekitar 1.125 anggota NII dan 400 orang merupakan anggota aktif. Dari jumlah itu 77 orang anak-anak di bawah usia 17 tahun yang dicuci otak dan berbaiat kepada NII.

NII adalah sel tidur terorisme yang terus bergerak aktif di bawah tanah dengan menyiapkan amunisi gerakan yang besar pada waktunya. Dalam perjalanannya, memang masih ada yang konsisten dalam gerakan NII, tetapi juga ada yang tidak puas dengan melompat dalam jaringan teror yang lebih luas. Namun, secara akar pemikiran, NII merupakan ideologi yang memberikan landasan kuat bagi gerakan teror di Indonesia.

Dimasukkannya NII dalam DTTOT merupakan langkah maju untuk mencegah dari hulu. Selama ini identifikasi organisasi teror merujuk organisasi pecahan atau yang didirikan oleh eks NII seperti JI, JAD dan lainnya. Dengan memasukkan NII dalam daftar DTTOT praktis menjadikan gerakan ini sudah absah sebagai gerakan teror di Indonesia.

Ruang gerak mereka akan semakin sempit, tetapi ideologi sulit untuk dihimpit dengan regulasi. Kewaspadaan masyarakat pada akhirnya adalah kunci untuk mempersulit mereka berkembang di lingkungan sekitar. Masyarakat tidak perlu ragu lagi untuk melaporkan gerakan mereka yang mengatasnamakan NII atau nama lain yang berilya membaiat, menggalang dana dan merekrut anak-anak dan dewasa. Keterlibatan masyarakat adalah kunci utama di atas penegakan hukum yang ada.

Facebook Comments