Nuansa Makna Hari Raya Kurban Melampaui Sekat Agama

Nuansa Makna Hari Raya Kurban Melampaui Sekat Agama

- in Narasi
46
0
Nuansa Makna Hari Raya Kurban Melampaui Sekat Agama

Hari raya Kurban dirayakan oleh umat Islam di Indonesia. Sebagai salah satu hari yang paling suci di tradisi Islam, Idul Adha ini disambut begitu meriah, melampaui perbedaan dan sekat-sekat keagamaan. Setelah kurban disembelih, tidak jarang daging dibagikan tidak hanya pada umat Islam saja, melainkan dibagikan pada seluruh warga setempat tanpa melihat status keagamaan.

Memang, ternyata kisah yang melatari hari raya ini ternyata juga menjadi kisah yang utama dalam narasi agama Kristen dan Yahudi. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam penafsiran tentang siapa yang dibawa oleh sang ayah, nilai utama yang terkandung dalam kisah tersebut tidak dapat disangkal. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang bagaimana kisah pengorbanan ini dimaknai dalam tradisi Kristen dan Yahudi sebagai sesama saudara agama-agama Samawi.

Ragam Pemaknaan Kurban

Kisah yang menjadi akar dari tradisi hari raya Kurban merupakan kisah yang tidak terpisahkan dari narasi keagamaan orang-orang Kristen dan Yahudi hingga hari ini. Tokoh yang disebut Nabi Ibrahim A.S. disebut sebagai Abraham dalam tradisi Kristen dan Yahudi. Dalam ketiga tradisi tersebut, ia dikenang sebagai seseorang yang taat dan teguh komitmennya bagi iman, sehingga ia merelakan anaknya untuk disembelih sebagai kurban. Oleh karena keteguhan hatinya itu, ketiga tradisi keagamaan ini mengingatnya sebagai tokoh yang amat penting dalam sejarah iman.

Namun, artikel ini akan mencoba untuk memperluas nuansa makna hari raya Kurban dalam tradisi Islam dengan mengaitkannya kepada pemaknaan tentang kurban dalam tradisi-tradisi Yahudi dan Kristen. Pemaknaan tentang bagaimana kurban dimaknai dalam kedua tradisi tersebut akan memperdalam pemaknaan tentang hari raya Kurban itu sendiri. Lebih lagi, pemaknaan antar-iman ini akan menunjukkan adanya hubungan kemanusiaan yang tidak dapat dibatasi agama.

Pemahaman tentang kurban itu sendiri memang ada dalam tradisi orang Yahudi kuno dan dalam tradisi orang Kristen masa kini. Tidak hanya di tradisi Islam saja, konsep tentang kurban menjadi dasar ajaran bagi tradisi-tradisi tersebut. Bahkan, dalam tradisi asli Indonesia penyembelihan hewan juga menjadi bagian dari praktik-praktik kita. Dalam acara Slametan di Jawa yang menyembelih ayam, penyembelihan kerbau di ritual Jamu Laut di Sumatera Utara, penyembelihan hewan di ritual Maccera Tasi di Kalimantan, dll.. Semua ritual tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang diterima sehari-hari. Jadi, kita sebagai bangsa Indonesia memang sudah terbiasa dengan fakta bahwa konsep kurban tersebut sudah ada di benak banyak tradisi.

Dalam tradisi Yahudi kuno, kurban biasanya dilakukan untuk hal-hal yang secara religius memiliki nilai signifikansi yang tinggi. Biasanya, ribuan tahun yang lalu, penyembelihan hewan dilakukan oleh orang-orang Yahudi kuno dengan tujuan meminta pengampunan dosa. Bahkan, perjanjian antara Tuhan dengan Abraham dilakukan dengan mengurbankan seekor sapi. Sapi tersebut dibelah menjadi dua bagian, ditaruh menjadi dua bagian di sisi kanan dan sisi kiri, lalu secara berurutan Tuhan dan Abraham berjalan di tengah-tengah kurban tersebut sebagai tanda perjanjian di antara mereka (kisah ini dicatat di Kejadian 15). Praktik seperti ini dilakukan oleh orang-orang di kala itu sebagai tanda perjanjian yang sama sekali tidak boleh dilanggar.

Sedangkan, dalam tradisi Kristen, konsep pengorbanan sangat dekat dengan doktrin mereka tentang keselamatan. Dalam konsep Kristen, manusia yang berdosa harus ditebus dengan kurban. Namun, karena dosa manusia begitu besar hingga manusia tidak mampu untuk menebus dosanya sendiri dengan kurban sehebat apapun, maka Tuhan sendiri yang turun menjadi manusia dan memberikan diri-Nya sendiri sebagai kurban bagi penebusan dosa manusia. Sehingga, konsep kurban menjadi sangat dekat dengan ajaran Kristen karena mereka mengimani bahwa sebagai bentuk kasih-Nya terhadap dunia, Tuhan merelakan diri-Nya sendiri sebagai kurban yang cukup untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka.

Dengan mengikutkan unsur-unsur pemaknaan yang beragam ini, sekarang menjadi lebih jelas bahwa Idul Adha dapat menyentuh rasa pemaknaan orang-orang dari berbagai tradisi. Di hari yang sama ada banyak pemaknaan yang dapat tersentuh, terutama bagi orang-orang Indonesia yang begitu ragam. Idul Adha mengaktifkan rasa syukur sebagaimana diingat dalam acara Slametan di Jawa, Jamu Laut di Sumatera, dan Maccera Tasi di Kalimantan. Idul Adha juga mengingatkan akan janji penyertaan dan anugerah Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagaimana dipercaya oleh orang-orang Yahudi dan Kristen.

Dengan pemaknaan melalui beragam tradisi seperti ini, tradisi Idul Adha dapat kita maknai jauh melampaui sekat-sekat keagamaan. Hari Raya Kurban sudah sejak dahulu kala mendarah-daging di tubuh kita sebagai orang Indonesia. Dengan pemaknaan yang berangkat dari keragaman ini, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial yang mendasari kehidupan Pancasila kita semakin mengakar kuat dalam pengalaman kebangsaan kita.

Facebook Comments