Solidaritas sosial adalah hikmah yang melekat pada Hari Raya Kurban. Sikap itu seharusnya tidak berhenti bersamaan dengan selesainya euforia Hari Raya. Di beberapa daerah di Indonesia, Hari Raya Idul Adha, ditambah dengan hari-hari tasyriknya, menegaskan simpul solidaritas lintas agama. Hal ini bukan berarti sebelum Idul Adha mereka tidak rukun, tetapi momen berbagi kurban seolah mengkalibrasi ulang semangat kerukunan itu.
Beberapa daerah di Papua misalnya menjadi saksi bahwa status minoritas Muslim di sana tidak menjadi penghalang kerukunan tetap terjadi. Praktik ini menjadi jaminan bahwa praktik religi di Nusantara tak (pernah) sektarian. Ramainya diskursus tentang status memberi atau menerima kurban bagi non-Muslim menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia tidak bisa mengabaikan saudara sebangsanya ketika bergembira. Terutama di level akar rumput. Hampir dipastikan di seluruh wilayah di Indonesia, Hari Raya Kurban pasti melibatkan berbagai agama, tidak hanya Islam, minimal dalam hal pendistribusian daging kurban.
Nilai-nilai agama itu melebur bersama budaya kumpul, makan bersama, dan srawung yang sudah mengakar dalam kultur masyarakat. Akulturasi itu semakin memperkokoh karakter bangsa Indonesia yang solid dan toleran.
Selepas Idul Adha, bangsa Indonesia akan berjumpa dengan tantangan-tantangan yang sarat menguji solidaritas. Dalam ranah politik, Idul Adha diharapkan bisa menciptakan rekonsiliasi organik di akar rumput yang sempat terpecah saat Pemilu 2024 lalu. Tantangan setelahnya adalan Pilkada 2024. Meskipun masih akan dilaksanakan di bulan November, semangat gotong royong di momen Idul Adha sangat krusial mempertebal fondasi kerukunan menjelang masa-masa “genting” kontestasi Pilkada.
Dimensi sosial keagamaan tak kalah penting. Menjelang Idul Adha, komitmen kerukunan bangsa diciderai oleh beberapa aksi intoleran di beberapa daerah. Kebanyakan menyangkut relasi lintas agama. Islam dan Kristen khususnya. Pembubaran ibadah umat agama lain, diskriminasi, dan eksklusifitas beragama tampaknya masih menjadi virus yang menjangkiti sebagian masyarakat kita.
Jika tak ingin bangsa kita menjadi paradoks, maka semangat Idul Adha harus senantiasa hidup di tengah keseharian kita sampai kapan pun. Paradoks yang saya maksud adalah maraknya kasus intoleransi di tengah reputasi toleran yang diatribusikan kepada bangsa Indonesia.
Jika boleh menyebut mayoritas-minoritas, melanggengkan semangat Idul Adha sebenarnya sangat efektif mengikis hegemoni kelompok-kelompok agama. Sebut saja Islam. Sebagai komunitas dominan, umat Islam diuntungkan oleh relasi kuasa. Sayangnya dalam konteks ini, relasi kuasa tak jarang berakhir tragis. Hegemoni, marginalisasi, diskriminasi, labelisasi adalah anak kandung dari relasi kuasa itu.
Meminjam bahasa Ahmet T. Kuru, umat Islam terjangkit virus majoritarianisme yang membuat mereka merasa mayoritas berhak mengontrol nilai-nilai publik, yang itu seringkali merugikan komunitas keagamaan lain yang rentan. Jujur saja, virus ini susah hilang, tetapi bukan tak bisa diredam.
Semangat Idul Adha menjadi alarm bahwa Islam mengajarkan berbagi, bukan dominasi. Islam mengajarkan berkurban, bukan sikap arogan. Islam tidak hanya soal iman di hati, tetapi juga rasa peduli. Substabsi ini melekat pada Hari Raya Kurban dan sudah selayaknya tetap berjalan seiring dengan nafas seorang Muslim berhembus.
Sama halnya dengan puasa, ibadah keagamaan memang seharusnya tidak berhenti pada tataran ritual. Membawa semangat Idul Adha pada kehidupan sehari-hari dapat menyelamatkan umat beragama dari praktik keagamaan yang formalistis. Terma “menyelamatkan” cocok digunakan karena pada kenyataannya orang sering terjebak secara tak sadar dalam praktik keagamaan simbolik dan ritualistik. Penyakit ini sudah menjadi concern dalam Islam. Dibuktikan dengan banyaknya sabda Nabi Muhammad yang menyinggung gejala ini. Padahal, Islam menghendaki umatnya untuk tidak hanya berorientasi spiritual, tetapi juga sosial.
Kurban yang secara harafiah bermakna “mendekatkan” dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia terutama manusia yang paling lemah, yaitu fakir dan miskin. Definisi manusia dalam pengertian ini bersifat inklusif. Manusia yang melampaui identitas primordial.
Harapannya, pelanggengan nilai Idul Adha dapat menggantikan terma toleransi dengan kultur. Artinya, kebaikan antar umat beragama dilakukan bukan atas dasar sikap toleran, tetapi karena memang itulah kultur bangsa. Umat Muslim membantu saudara Kristen bukan karena ia toleran, tetapi dengan kesadaran, “ya memang sudah begitu seharusnya dunia berjalan”.