Istilah Nusantara menempati posisi istimewa di alam bawah sadar bangsa Indonesia. Dari sisi linguistik, Nusantara pada dasarnya bermakna kumpulan gugusan kepulauan yang dalam bahasa Inggris disebut Archipelago. Dalam bahasa Sanksekerta Nusa bermakna Pulau dan antara dimaknai sebagai penghubung. Dengan begitu, kata ini merujuk pada satu wilayah kedaulatan negara yang terdiri dari gugusan pulau yang kini dikenal dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara dari sudut pandang sejarah, Istilah Nusantara sendiri sudah dikenal sejak berabad silam lamanya di tanah ini. Raja terakhir Singasari, Prabu Kertanegara (sekira 8 abad silam), konon merupakan peguasa pertama yang berobsesi menjadikan Nusantara (pulau-pulau itu) dalam satu kedaulatan kepemimpinan yang saat itu berkonsep mirip negara federasi di masa sekarang. Cita-cita tersebut tak terselesaikan akibat terdahului oleh kudeta Jayakatwang, seorang raja bawahan dari Kediri.
Barulah kemudian, menantu Kertanegara, Raden Wijaya (pendiri sekaligus raja pertama Majapahit), yang meneruskan cita-cita tersebut setelah menumbangkan kekuasaan Jayakatwang di Kediri. Cita-cita menyatukan Nusantara dalam satu kedaulatan mencapai puncaknya di masa Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada memimpin. Sejak itu, konsep penyatuan pulau-pulau dalam satu kedaulatan menjadi harga mati dan cita-cita seluruh manusia yang dilahirkan di bumi Nusantara.
Belakangan pemaknaan orang terhadap istilah Nusantara mulai bergerak maju dengan memberi nuansa arti yang baru. Nusantara tak lagi dikenal sebagai satu wilayah kedaulatan atau teritorial tertentu. Makna Nusantara mulai bergerak meninggalkan pendefinisian linguistik-historis menuju pemaknaan sosiologis. Dengan cara itu, Nusantara mulai didefinisikan sebagai sebuah sikap individu atau kolektif satu bangsa yang menunjukkan ciri khas dan keistimewaan tertentu yang tidak ditemukan di bangsa lain.
Ciri khas dan keistimewaan itu berangkat dari sebuah kesadaran bahwa bangsa ini memiliki pengalaman-pengalaman sosial dan kearifan-kearifan lokal dalam memandang berbagai persoalan. Pengalaman yang berdasar pada kearifan itu di kemudian hari teruji dan tersimpulkan sebagai solusi terbaik dan cara tepat mengatasi problema kemasyarakatan dan kebangsaan selama berabad-abad. Nusantara kemudian menjadi sebuah metodologi berfikir dan bertindak dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial bangsa.
Dalam konsep Islam Nusantara yang pada sepanjang tahun silam banyak diperdebatkan misalnya, Islam tidak lagi dipahami sebagai suatu ajaran rigid yang dipahami secara a-historis dan a-sosiologis. Dengan percaya diri, bangsa Indonesia mendekatkan relevansi Islam yang awal diturunkan di tanah Arab dengan segala bentuk kebudayaannya dengan kebudayaan Nusantara tanpa mengorbankan syraiat agama itu sendiri. Dialektika konstruktif penganut Islam di bumi Nusantara, terbukti mampu menampilkan wajah Islam yang berbeda dari wajah Islam di belahan benua lainnya. Penganut Islam di Nusantara menjadikan nuansa keberagamaan menjadi sesuatu yang sangat humanis, toleran, dan ramah karena memang terlahir dalam keberbhinekaan dan keberadaban budaya bangsa.
Demikian pula dengan istilah baru yang disebut “Deradikalisasi Nusantara”. Secara faktual maupun konseptual istilah deradikalisasi itu sendiri merupakan hal yang baru di dunia, apalagi dengan tambahan Nusantara di belakangnya. Menurut saya, deradikalisasi merupakan lanjutan dari teori intervensi dan rekayasa sosial. Deradikalisasi merupakan sebuah upaya menggeser pemahaman radikalisme yang dimiliki seseorang menjadi ‘tidak radikal’. Konsep ini sesungguhnya menawarkan cara baru dalam penanganan radikalisme dan terorisme.
Di berbagai negara termasuk di Indonesia sendiri sebelum konsep deradikalisasi dicetuskan, penanganan gangguan keamanan seperti terorisme selalu lewat pendekatan keras (hard approach). Pendekatan keras berawal dari dua asumsi populer bahwa setiap pelaku kejahatan harus dihukum agar menjadi shock therapy bagi yang lain dan negara tidak boleh kalah melawan kejahatan. Namun pertanyaannya kemudian, dalam kasus terorisme apakah pendekatan keras itu mampu meredam atau setidaknya meminimalisir aksi terorisme?
Jawabnya ternyata tidak cukup. Sejumlah data yang dimiliki lembaga-lembaga terkait menunjukkan hal diluar harapan. Aksi terorisme meski berubah pola dan jaringan justru kian meningkat selaras dengan penegakan hukum dalam pendekatan keras yang dilakukan. Jaringan terorisme pun semakin keras melakukan perlawanan karena merasa dalam posisi benar dan sedang melawan penindasan negara. Motif aksi balas dendam, baik yang dilakukan oleh jejaring terorisme itu sendiri atau sanak kerabatnya, menunjukkan bahwa pedekatan hard approach tidak serta merta memutus mata rantai dan aksi jaringan itu.
Karena itulah, negara merasa perlu menambah satu pendekatan tidak biasa terhadap kasus terorisme. Pendekatan lunak (soft approach) pun ditambahkan sebagai komponen penanganan terorisme. Caranya adalah lewat program deradikalisasi, baik di dalam maupun luar lapas. Di dalam lapas, para pelaku terorisme itu ditemui, diajak bicara, berdiskusi, dan sebagainya dengan harapan ia merubah cara pandangnya selama ini. Di luar lapas, deradikalisasi dilakukan untuk memutus mata rantai dendam di tengah keluarga, dengan cara melakukan berbagai pendekatan yang simpatik.
Deradikalisasi ala Nusantara juga saya nilai sebagai cara yang unik. Metode ini memperhatikan secara betul-betul bagaimana kondisi psiko-sosial ‘objek’-nya. Menjadikan musuh tetap sebagai manusia beradab yang tidak melulu berpotensi merusak adalah bagian dari nilai-nilai yang diajarkan para nenek moyang Nusantara. Karena itulah, Deradikalisasi ala Nusantara ini mengedepankan proes dialogis dengan prinsip lebih banyak mendengar dengan sesekali megajak berdiskusi. Deradikalisasi Nusantara adalah metode penanganan terorisme yang lahir dari dialektika panjang bangsa Indonesia. Cara-cara penanganan teroris inilah yang barangkali tak pernah ada di negara lain, hatta sekelas Amerika Serikat.