Optimisme Pemimpin Baru; Mencegah Disintegrasi, Memperkuat Ketahanan Ideologi

Optimisme Pemimpin Baru; Mencegah Disintegrasi, Memperkuat Ketahanan Ideologi

- in Narasi
54
0
Optimisme Pemimpin Baru; Mencegah Disintegrasi, Memperkuat Ketahanan Ideologi

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia disambut antusias masyarakat. Di media sosial, tema pelantikan presiden menjadi trending topic. Di Jakarta, masyarakat membludak memenuhi jalanan tempat dilaksanakannya pesta rakyat menyambut presiden baru. Euforia masyarakat menyambut pemimpin baru itu bisa ditafsirkan ke dalam sejumlah pembacaan.

Pertama, euforia itu menandai optimisme publik bahwa kepemimpinan baru ini akan membawa spirit baru untuk kemajuan Indonesia. Tentu ada banyak masyarakat yang menitipkan harapannya pada sosok pemimpin baru.

Kedua, euforia itu menandai bahwa polarisasi di masyarakat telah berakhir. Kemenangan Prabowo-Gibran menyimbolkan kemenangan agenda rekonsiliasi sekaligus menyimbolkan berakhirnya polarisasi. Suka-cita menyambut pemimpin baru itu menggambarkan kondisi psikologis masyarakat Indonesia.

Kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang mewujud pada euforia menyambut kepemimpinan baru ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan konsolidasi sosial dan politik. Seperti kita tahu, bangsa ini masih dihadapkan pada tantangan, baik internal maupun eksternal.

Secara internal, bangsa ini dihadapkan pada ancaman disintegrasi kebangsaan yang dilatari oleh isu primordialisme kesukuan. Sebagai bangsa yang besar dengan belasan ribu pulau, ratusan suku bangsa dan bahasa, perpecahan sosial dan politik adalah ancaman yang selalu membayangi Indonesia. Gelombang disintegrasi itu masih ada hingga sekarang, ketika usia republik sudah lebih dari tujuh dekade.

Ancaman Disintegrasi Bangsa

Belakangan, ancaman disintegrasi itu pun mengalami evolusi. Ancaman diintegrasi bangsa ini tidak hanya mewujud pada gerakan separatisme. Melainkan juga mewujud pada gerakan-gerakan oposisi destruktif yang menebar narasi kebencian dan permusuhan di dunia maya. Keberadaan kelompok oposisi desktruktif ini adalah ancaman yang tidak kalah berbahayanya dengan militan separatis.

Mereka menebar racun hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian di kanal-kanal media sosial. Tujuannya adalah mendelegitimasi kekuasaan yang sah dan mengadu-domba antar-masyarakat. Kelompok oposisi destruktif ini adalah benalu atawa penumpang gelap dalam sistem demokrasi. Mereka ada karena mendompleng demokrasi, namun keberadaannya justru menggerogoti bangsa dan negara dari dalam.

Dalam konteks internal, bangsa ini menghadapi tantangan berat terutama terkait kontestasi ideologi global. Persaingan negara-negara untuk menjadi yang paling dominan di panggung internasional kerap melibatkan perang ideologi. Kontestasi ideologi di panggung dunia inilah yang saat ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan ideologi Pancasila.

Di satu sisi, kita menghadapi arus deras penetrasi ideologi liberalisme-komunisme. Di sisi lain, kita juga patut waspada kebangkitan ideologi sosialisme-komunisme yang pernah menimbulkan trauma bagi bangsa. Namun, di saat yang sama bangsa ini juga harus menghadapi penetrasi ideologi transnasional yang berwatak anti-kebangsaan.

Penetrasi ideologi transnasional yang masif pasca Reformasi ini telah menyuburkan ekstremisme agama Indonesia. Dan sampai saat ini, ekstremisme agama bisa dikatakan sebagai salah satu ancaman serius bagi bangsa. Ekstremisme keagamaan adalah virus yang menggerogoti bangsa secara tidak tampak. Kaum ekstrem menyerang alam bawah sadar dan pikiran masyarakat, lalu mencekokinya dengan narasi anti-kebangsaan.

Spirit Pemimpin Baru

Momen peralihan kekuasan ini membawa spirit baru untuk mengatasi problem ancaman disintegrasi dan pelemahan ideologi. Ancaman disintegrasi yang muncul karena keberadaan kelompok separatis dan kaum oposisi destruktif tentu perlu respons tegas. Demikian pula, ancaman pelemahan ideologi akibat infiltrasi ideologi transnasional harus disikapi secara lugas.

Kita patut optimistik pemimpin baru kita, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bisa menjawab tantangan tersebut. Prabowo kita tahu sangat kuat pengalaman militernya. Sosoknya dikenal sebagai jenderal tempur yang berkali-kali dikirim ke daerah konflik. Pengalamannya mengatasi musuh yang mengancam eksistensi negara tentu sudah teruji.

Sedangkan Gibran, sosok pemimpin muda milenial yang dikenal punya gaya komunikasi yang bisa diterima oleh generasi digital dan gen Z pada umumnya. Gibran kiranya bisa menjadi semacam ikon anak muda dalam melawan sebaran narasi perpecahan dan permusuhan di dunia maya.

Setiap pemimpin tentu punya karakter dan gaya kepemimpinannya masing-masing. Gaya kepemimpinan itu dibentuk oleh latar pendidikan, keluarga, dan sebagainya. Karakter kepemimpinan itulah yang akan menyumbang andil dalam membentuk kultur sebuah organisasi. Namun, satu hal yang pasti semua pemimpin bangsa ini dituntut mampu menjadi perekat kebangsaan sekaligus menghalau semua ancaman dari luar.

Rekam jejak Prabowo dan kapasitas Gibran kiranya menjadi modal penting mengatasi ancaman disintegrasi dan pelemahan ideologi. Kiranya pelantikan presiden dan wakil presiden baru ini bisa menjadi titik awal untuk semakin memperkokoh kesatuan bangsa dan menghalau musuh dari luar.

Facebook Comments