Transisi kekuasaan di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia merupakan momen krusial yang memerlukan perhatian ekstra, tidak hanya dari segi stabilitas politik tetapi juga dari bagaimana masyarakat memahami dan merespons dinamika yang terjadi. Saat ini, Indonesia sedang menghadapi transisi kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin ke pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Sebagai bangsa yang memiliki pengalaman panjang dengan perubahan kepemimpinan, Indonesia tentu menyadari betapa sensitifnya situasi ini. Namun, ada satu hal yang sering kali diabaikan dalam setiap transisi kekuasaan: ancaman narasi adu domba. Narasi ini bukan hanya sekadar isu politik semata, tetapi merupakan bentuk disinformasi yang berpotensi memecah belah persatuan nasional. Meski secara prosedural transisi kekuasaan sudah berlangsung, dan Prabowo-Gibran sudah resmi dilantik, namun narasi adu domba ke depan harus diwaspadai.
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, narasi adu domba bukanlah fenomena baru. Di berbagai masa transisi, ada upaya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan ketegangan politik dan kultural untuk menyulut perpecahan. Pola ini terlihat jelas dalam isu-isu yang terkait dengan agama, suku, ras, dan antar golongan (SARA), yang sangat mudah dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan atau kelompok tertentu guna mengguncang stabilitas nasional.
Narasi semacam ini kerap kali membesar di tengah masyarakat yang sedang menghadapi ketidakpastian, termasuk sebelum dan setelah pergantian pemerintahan. Sayangnya, narasi adu domba sering kali berkamuflase dalam bentuk wacana publik yang terlihat seperti kritik sah terhadap kebijakan atau program tertentu, tetapi sebenarnya memiliki tujuan lebih dalam untuk menimbulkan perpecahan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Transisi dari Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Gibran memberikan kesempatan bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan situasi ini. Salah satu bentuk narasi adu domba yang perlu diwaspadai adalah pemanfaatan isu-isu sektarian untuk memecah belah masyarakat. Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang luar biasa, dengan berbagai agama, suku, dan bahasa yang hidup berdampingan. Sayangnya, keberagaman ini sering kali dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk menimbulkan konflik, terutama saat transisi kepemimpinan.
Tidak jarang, isu agama atau identitas etnis dipolitisasi untuk membangkitkan emosi publik dan khalayak. Misalnya, kelompok-kelompok tertentu dapat mengangkat isu bahwa pergantian kekuasaan ini akan menguntungkan atau merugikan kelompok agama atau suku tertentu, yang pada akhirnya memicu ketegangan horizontal di dalam masyarakat kita.
Lebih jauh lagi, ancaman narasi adu domba juga berpotensi muncul dalam bentuk disinformasi yang disebarkan melalui media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi platform utama bagi masyarakat Indonesia dalam memperoleh informasi politik. Namun, ini juga berarti bahwa media sosial sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita palsu atau hoaks politik.
Salah satu contohnya adalah penyebaran narasi bahwa pergantian kepemimpinan ini dikendalikan oleh kepentingan asing atau kelompok elit tertentu yang ingin mengendalikan pemerintahan demi keuntungan pribadi. Hoaks semacam ini sering kali sangat efektif dalam memanipulasi opini publik karena sifatnya yang emosional dan mudah diterima oleh masyarakat yang tidak mendapatkan informasi yang cukup akurat atau berimbang.
Narasi adu domba semacam ini tidak hanya berbahaya karena berpotensi merusak persatuan nasional, tetapi juga karena dapat mengganggu proses demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sehat seharusnya memungkinkan perdebatan yang terbuka dan berbasis fakta, di mana berbagai pandangan politik dapat diungkapkan tanpa adanya ancaman perpecahan.
Namun, narasi adu domba justru mengacaukan prinsip-prinsip ini dengan menciptakan situasi di mana publik terjebak dalam polarisasi yang ekstrim. Ketika masyarakat terpecah oleh narasi yang tidak berdasar, mereka cenderung kehilangan kemampuan untuk berdialog secara konstruktif dan rasional. Akibatnya, proses transisi kekuasaan yang seharusnya berlangsung damai dan tertib malah berubah menjadi arena konflik sosial yang mengancam stabilitas.
Untuk mencegah hal ini, diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, media, akademisi, dan masyarakat sipil. Pemerintah perlu memastikan bahwa mekanisme transisi kekuasaan berjalan dengan transparan dan adil, sehingga tidak ada celah bagi munculnya kecurigaan atau ketidakpercayaan publik. Selain itu, penting bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk terus memantau dan menangani penyebaran disinformasi di media sosial dengan lebih efektif. Langkah-langkah hukum yang tegas terhadap pelaku penyebaran hoaks harus diimplementasikan tanpa pandang bulu, sehingga masyarakat tahu bahwa ada konsekuensi serius bagi mereka yang berusaha memecah belah bangsa.
Jika tidak ditangani dengan baik, narasi semacam ini dapat merusak tatanan sosial dan menghambat proses demokrasi yang sedang berjalan. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus waspada dan berperan aktif dalam mencegah penyebaran narasi adu domba, agar transisi kekuasaan ini dapat berjalan dengan damai, tertib, dan demokratis. Persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap menjadi prioritas utama di atas segala perbedaan politik yang ada.