Detik-detik pergantian tahun segera datang menjelang. Momentum ini tepat untuk dijadikan titik perhentian sementara guna melakukan refleksi ke belakang sekaligus meneropong ke depan. Salah satunya adalah terkait cita-cita menciptakan perdamaian global.
Indonesia menjadi harapan dan potensi dunia dalam garda depan pewujudan perdamaian global. Modal kuat yang dimiliki adalah potensi budaya nusantara yang telah hadir berabad-abad lamanya. Aktualisasi kekinian dari potensi itu sangat relevan hingga ke depan, antara lain spirit persatuan, toleransi, budaya damai, dan lainnya.
Iklim kedamaian di era kontemporer ini menghadapi dilema potensi keretakan. Di sisi lain dunia termasuk Indonesia sedang menghadapi tantangan radikalisme global. Ikatan sosial yang kuat dibutuhkan untuk menangkal radikalisme global tersebut.
Perdamaian Global
Bulan lalu, tepatnya tanggal 6 November 2017 telah terbentuk Dewan Toleransi dan Perdamaian Global. Delapan pendiri dewan tersebut adalah Amerika Serikat, Argentina, Uni Emirat Arab, Comoros, Albania, India, Mesir dan Indonesia. Pembentukannya atas undangan bersama Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Fund) UNFPA) dan Pemerintah Malta.
Latar belakang pembentukan adalah kesadaran atas meningkatnya ancaman ekstremisme, intoleransi rasial, dan kejahatan intelektual. Tujuannya untuk membangun cinta dan toleransi bersama dan untuk menyebarkan budaya damai di seluruh dunia.
Toleransi adalah kunci tersemainya perdamaian global. Persepsi terkait aktualisasi toleransi pun bervariasi. Ada yang menyerukan toleransi tanpa batas, sebagian lagi tetap mempersyaratkan batasan toleransi. Toleransi untuk urusan kemanusiaan dan duniawi merupakan titik temu antar persepsi tersebut.
Indonesia sangat menjunjung tinggi toleransi. Faktanya intoleransi masih menjangkiti. Polri (2017) menyebutkan masih terjasi 25 kasus intoleran terjadi di Indonesia sepanjang 2016. Sedangkan Komnas HAM menerima sebanyak 87 pengaduan pada 2015. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 2014, yaitu 74 pengaduan. Angka ini baru pengaduan terkait dugaan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Perbedaan adalah keniscayaan dan bentuk rahmat-Nya. Pluratitas bangsa ini masih memberikan implikasi mudahnya terjadi bentuk-bentuk laku intoleransi. Salah satunya dalam dinamika sosial politik yang kerap membentuk bipolarisasi. Intoleransi menjadi mata rantai yang menjebak semua pihak. Provokasi tindakan dan saling balas dendam semakin menyuburkan jebakan intoleransi.
Revitalisasi Sosial
Apapun latar belakangnya, intoleransi mesti diantisipasi. Upaya ini membutuhkan kedewasaan, kebijaksanaan, dan visi dalam merevitalisasi ikatan sosial yang berkedamaian. Saling balas tidak menyelesaikan perbedaan dua kutub pendapat. Perbedaan dan saling kritik sudah saatnya disalurkan pada kanal produktif. Tindakan “move on” mesti dibuktikan dan dilakukan sesegera mungkin jika gagasan atau pihak yang didukungnya mengalami kekalahan.
Kompetisi apalagi dalam kontestasi demokrasi wajar ada yang kalah dan menang. Demokrasi tidak mengenal hasil imbang. Elit politik umumnya lebih cair, namun semakin ke bawah justru kian ideologis dan mudah tersulut emosinya. Untuk itu peran elit dan tokoh menjadi penting dalam menetralisasi jika terjadi benturan dan polemik. Hanya memang terkadang dalam sudut pandang politik, situasi ini menjadi penting dan dibutuhkan untuk kepentingan daya tawar elit.
Pejabat publik menjadi penting guna memberikan keteladanan. Apresiasi patut diberikan kepada Anies Baswedan yang memberikan respon menyejukkan atas aksi Ananda Sukarlan. Anies memberikan pernyataan yang menghormati atas apa yang dilakukan Ananda. Sampai disini sebenarnya sudah cukup dan tidak relevan dilanjutkan dengan balas dendam boikot.
Masing-masing individu maupun kelompok juga penting menyadari terkait efek era digital. Dalam hitungan detik suatu tindakan cepat tersebar dan mendapatkan respon warganet. Segala risiko memang menjadi tanggung jawab pribadi. Namun implikasi provokatif menjadikan efek bola liar yang tidak produktif. Untuk itu perlu kecermatan dan kematangan berpikir sebelum bertindak.
Tidak sekadar rantai intoleransi, namun jebakan bipolarisasi penting diputus mata rantainya. Bipolarisasi politik akan wajar dan sah jika melalui jalur demokratis. Semua jajaran pada setiap pihak penting disadarkan akan segala tindakannya agar tidak reaksioner dan emosional sesaat. Pendidikan politik menjadi kunci agar kondisi ideal tersebut tercapai.
Pihak pemenang dan kelompok yang pro mesti fokus pada kerja dan pelaksanaan janjinya. Sedangkan pihak oposan dapat fokus melakukan kritik yang konstruktif. Forum-forum produktif dapat dikembangkan dalam berbagai media.
Batas-batas toleransi yang disepakati penting dijaga dan dirawat bersama. Iklim positif dan kepentingan bangsa mesti didudukkan pada skala priotitas pertama. Jika terpaksa terjadi kontroversi dan polemik, maka cukup menjadi bumbu-bumbu kehidupan dan tidak sampai mengarah pada tindakan merugikan.