Jika kita diminta membayangkan seorang ‘pahlawan’, citra yang muncul seringkali adalah gambaran monolitik sosok gagah berani di medan perang, menghunus pedang atau senapan. Kita teringat pada heroisme fisik para pejuang kemerdekaan atau ketangguhan para sahabat Nabi yang perkasa di medan Badar dan Uhud.
Namun, membatasi heroisme hanya pada pertarungan fisik adalah sebuah kekeliruan di era modern. Medan juang telah berevolusi. Musuh terbesar kita hari ini bukanlah tentara di seberang parit, melainkan sesuatu yang lebih dekat, lebih subtil, dan bersarang di dalam gawai kita: egoisme, intoleransi, dan polarisasi sosial. Ia adalah algoritma yang memecah belah, disinformasi yang meracuni sumur percakapan publik, dan kebencian yang dinormalisasi.
Kita semua menyaksikan bagaimana masyarakat terbelah akibat perbedaan pilihan politik, sebuah luka demokrasi yang mengancam harmoni. Kita hidup dalam paradoks: terhubung secara digital, namun terasing secara sosial. Di sinilah wajah heroisme baru paling dibutuhkan, yaitu keberanian untuk menahan ego, berani keluar dari ruang gema (echo chamber) kita, dan secara aktif membangun persaudaraan kemanusiaan.
Spirit kepahlawanan ini ternyata bukanlah hal baru. Ia justru fondasi dari teladan para pahlawan era kenabian, sebuah kepahlawanan yang tidak hanya diukur dari keberanian di medan laga, tapi dari kekuatan karakter dan kecerdasan emosional.
Mari kita lihat kisah Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia memeluk Islam di usia 17 tahun. Ibunya, yang sangat ia cintai, marah besar dan melakukan aksi mogok makan, bersumpah tidak akan makan atau minum sampai Sa’ad kembali ke agama lamanya. Ini adalah tekanan emosional yang luar biasa sekaligus bentuk ‘perang’ psikologis dari orang terdekat.
Apa respons heroik Sa’ad? Bukan amarah. Bukan pula sikap reaktif yang menyalahkan. Ia menunjukkan kecerdasan emosional dan spiritual yang matang. Ia menahan egonya. Dengan hati-hati, ia menegaskan prinsipnya:
“Wahai Ibu, demi Allah! Seandainya Ibu memiliki seratus nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini!”.
Di titik ini, ia tegas pada prinsip (aqidah). Namun, pada saat yang sama, ia tetap berbakti dan mempergauli keduanya di dunia dengan baik persis seperti yang kemudian diabadikan dalam Al-Quran (QS. Luqman: 15). Ia memisahkan dengan jelas antara ranah keyakinan pribadi yang non-negosiasi dan ranah bakti sosial (muamalah) yang wajib dijaga.
Inilah heroisme sejati. Menolak ditarik ke dalam polarisasi biner ‘kami’ vs ‘mereka’. Keteguhan prinsip yang diiringi kelembutan dalam harmoni sosial. Inilah relevansi terbesar teladan sahabat untuk Nusantara kini, yang seringkali menuntut kita untuk memilih satu dan membuang yang lain.
Spirit Sa’ad kini hidup di Indonesia. Kita melihatnya pada sosok seperti Robinson Sinurat. Sebagai anak petani, ia kini mendedikasikan hidupnya melalui Yayasan Mimpi Bintang Indonesia (YMBI) untuk membangun toleransi lintas iman dan mendorong kepemimpinan inklusif. Robinson adalah pahlawan modern yang berjuang bukan dengan pedang, tapi dengan dialog dan empati untuk merajut keberagaman di tengah masyarakat yang rentan tergesek.
Kita juga melihatnya dalam konsep ‘Pemuda Pelopor Moderasi’. Mereka adalah pahlawan yang bersedia menjadi jembatan sosial antar kelompok yang berselisih. Mereka adalah pemuda yang paham bahwa menjadi jembatan berarti siap menerima hantaman dari kedua sisi.
Inilah wujud nyata dari membumikan Pancasila. Sebab, Pancasila bukanlah sekadar hafalan. Ia adalah tindakan. Heroisme baru ini adalah pemuda yang mengamalkan Sila Pertama dengan saling menghormati dan toleransi antar umat beragama. Mereka mengamalkan Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dengan menolak merendahkan martabat atau melakukan dehumanisasi terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Mereka mengamalkan Sila Ketiga dengan aktif mengenal budaya etnik lain dan menghargai perbedaan. Dan mereka adalah fondasi Sila Kelima (Keadilan Sosial), karena keadilan sejati mustahil tegak di atas masyarakat yang terpecah belah.
Contoh konkretnya ada di Desa Nglinggi, Klaten. Desa ini menjadi Desa Damai Berbudaya. Mereka membumikan Pancasila dengan menerapkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Puncaknya, desa ini secara dewasa menunjukkan kedewasaan demokrasi yang melampaui banyak kota besar: mereka memilih pemimpin dari golongan minoritas, bukan atas dasar identitas, tapi murni karena kinerjanya. Ini adalah heroisme kolektif; sebuah kemenangan akal sehat dan integritas atas prasangka.
Pada akhirnya, pahlawan sejati, baik di era Nabi maupun di Nusantara kini, bukanlah dia yang paling keras berteriak atas nama kelompoknya atau yang paling lantang mengutuk ‘yang lain’. Pahlawan sejati adalah dia yang, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, mampu menaklukkan egonya sendiri demi harmoni.
Merekalah para Sa’ad modern, para Robinson Sinurat di komunitasnya, dan para warga Nglinggi dalam kesehariannya. Merekalah pahlawan yang sesungguhnya, yang sedang membumikan Pancasila, satu jembatan dialog dan satu tindakan empati pada satu waktu.
