Palestina; Bukan Soal Perbedaan Agama, Tetapi Soal Kemanusiaan

Palestina; Bukan Soal Perbedaan Agama, Tetapi Soal Kemanusiaan

- in Narasi
1189
0

Pertikaian Palestina-Israel, selalu dipahami dalam persoalan agama; pertentangan antara Yahudi dan Islam. Pemahaman ini sangat keliru, tatkala melihat secara mendalam persoalan ini, maka kita akan diperlihatkan bagaimana di dalam Palestina-Israel tidak semuanya beragama Islam atau Yahudi. Dalam negara yang bertikai tersebut memiliki ragam agama, bahkan dalam Yahudi yang menetang aksi kekerasan yang dilakukan oleh Israel serta di dalam Palestina terdapat masyarakat yang beragama Yahudi sebanyak 50% jumlah pendudukan Palestina serta sisanya adalah Kristen serta Islam.

Tatkala melihat agama dalam persoalan kekerasan Palestina-Israel, hal ini akan menjadi sebuah dilema dalam perkembangan agama itu sendiri. Sebab, misi-visi agama akan membawa umatnya dalam sebuah kebaikan. Isu dalam persoalan ini selalu dikaitkan dengan keagamaan akan membaca citra baik soal agama itu sendiri.

Kilas waktu, agama dijadikan alat untuk menguasai sebuah wilayah dan kemudian menjadi tren bahwa agama dianggap sebagai ideologi, dimulai dari kolonialisme abad ke 19, tren tersebut didorong memperlakukan agama tidak semata-mata sebagai keyakinan tetapi sebagai sebuah ideologi politik. Ideologi ini menurut agama menjadi bukan saja sebuah pengalaman spiritual tetapi juga sebagai sistem politik. Bagi mereka, sistem politik jumlah lebih penting ketimbang aspek spiritual agama.

Saat agama sudah dianggap sebagai sebuah simbol dan ideologi untuk mendirikan sebuah negara. Dianggap hukum tersebut sempurna sebagai wahyu Tuhan dan dengan memikirkan ulang tidak diperkenankan. Bila ada orang yang berbuat semacam itu dikatakan sebagai kejahatan serius. Menurut mereka, pengubahan adalah penyimpangan dan penyimpangan merupakan dosa di mata Tuhan.

Lantas, negara-negara yang menerapkan agama sebagai ideologinya, mereka tidak hanya menerapkan hukum-hukum Tuhan secara ketat, tetapi menghukum keras semua yang mengajak pada perubahan. Bagi mereka, ini bukan soal kendati mencederai inti agama, tetapi yang terpenting adalah sistem politik. Tidak ada posisi karena ini adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu. Tidak perlu jauh, pemerintahan dengan ideologi agama akhirnya akan mengarah pada otoritarianisme yang paling buruk.

Agama sebagai simbol (ritual) atau ideologi tidak menjadi masalah, tetapi akan menjadi masalah tatkala inti agama sudah terabaikan. Inti agama diperkosa demi kepentingan ideologi atau kelompok. Islam mendasarkan pada keadilan dan kesetaraan, keadilan semua lapisan semua lapisan lemah masyarakat dan kesetaraan bagi semua manusia, baik pria atau wanita. Kristen, pada sisi lain, mendasarkan pada cinta dan ma’af yang sangat penting bagi hubungan manusia. Sebagai agama Ibrahim, Yahudi juga melandaskan pada keadilan. Agama-agama India, Hinduisme menekankan universalisme dan toleransi. Janisme pada non-violence dan budhisme pada kasih sayang. Dan, kebenaran tentu saja, merupakan nilai-nilai bersamaan semua agama.

Jadi, nilai yang paling dasar dari setiap agama-agama ada tujuh (Asghar Ali Engineer: 2004); yakni kebenaran, non-violence, keadilan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi. Jika umat manusia bisa menjalankan ketujuh nilai ini, ia akan menjadi orang yang paling agamis dan terbaik dari umat manusia.

Apakah kebenaran itu? Kebenaran bukanlah semata-mata persesuaian dengan kenyataan, kendati itu juga hal yang paling mendasar, tetapi lebih dari itu semua. Kebenaran mengejawantahkan dalam dimensi spiritual. Kebenaran disyaratkan kepada spiritual dan transendensi. Seseorang yang mencintai kebenaran sebagai nilai, ia tidak akan puas dengan kebenaran itu. Ia akan selalu mengembangkan kebenaran itu bagaimana baiknya. Jadi kebenaran memiliki dimensi kesempurnaan spiritual.

Nah, jarang ditemukan seorang Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan agama-agama lain menjalankan nilai-nilai paling mendasar ini. Mereka lebih banyak memberatkan pada ritual daripada nilai. Dan kita hendaknya menyoroti nilai-nilai mendasar ini yang menjadikan umat manusia bersemangat beragama. Jika kita mengikuti nilai-nilai ini, tidak akan ada perseteruan antara agama. Mari kita ingat bahwa perseteruan antar agama –sebagai orang rasional berpendapat, bahwa terletak pada ajarannya. Tidak! Melainkan perselisihan antar agama merupakan akibat dari terlalu mengorbankan nilai-nilai inti pada satu sisi, dan menyalahgunakan agama demi kepentingan ekonomi, politik dan kepentingan pribadi, pada sisi lainnya.

Tanpa disadari ritual memiliki peran dan arti penting keberadaan agama itu sendiri. Ritual menanamkan keunikan bagi tiap agama, sedangkan nilai tidaklah khas untuk setiap agama. Dan, orang yang beriman taat lebih sadar nilai dasar ini dibanding ritual. Juga perlu diingat, pelaksanaan ritual tidak mencederai kepentingan pribadi seseorang, namun nilai menuntut pengorbanan besar bagi kita.

Dalam penutup ini, penulis ingin mengatakan bahwa dalam terjadinya sebuah peperangan atau kekerasan atas nama agama, tidak semata-mata dilakukan karena dorongan dari agama itu sendiri. Palestina-Israel merupakan sebuah kekerasan yang dilakukan karena kepentingan sebuah wilayah, siapa yang berhak untuk menempati.

Palestina-Israel merupakan kasus tentang kemanusiaan. Tentang hak hajat hidup orang banyak. Israel merupakan negara yang ingin menjajah negara Palestina dengan cara apapun. Membela Palestina, maka kita membela kemerdekaan mereka, kemerdekaan atas wilayah mereka serta kemerdekaan untuk hidup secara damai, bukan membela agama mereka.

Facebook Comments