Pancasila di Tengah Intevensi Asing; Mencari Titik Temu Nasionalisme dan Internasionalisme

Pancasila di Tengah Intevensi Asing; Mencari Titik Temu Nasionalisme dan Internasionalisme

- in Narasi
2
0
Pancasila di Tengah Intevensi Asing; Mencari Titik Temu Nasionalisme dan Internasionalisme

Dalam banyak kesempatan, Presiden Prabowo Subianto selalu mewanti-wanti agar masyarakat waspada pada intevensi asing. Bentuk intervensi asing di zaman modern ini bukan sekadar ancaman keamanan melalui agresi militer. Namun, mewujud ke sejumlah ancaman strategis berupa narasi adu-domba, upaya melemahkan pemerintahan yang sah, sampai konspirasi dalam ekonomi dan politik.

Aktor intervensi asing itu bukan selalu negara, namun bisa pula lembaga sipil, seperti NGO/LSM, lembaga penelitian, perusahan multinasional, atau lembaga think-thank. Startegi yang mereka mainkan pun terbilang halus.

Yakni melalui diseminasi isu yang bertendensi melemahkan otoritas pemerintahan yang sah. Di tengah kecamuk global yang dilatari problem perebutan dominasi ekonomi dan politik, ancaman intevensi asing dipastikan akan lebih kencang.

Menurut Terry Eagleton, ideologi merupakan salah satu pilar penting ketahanan sebuah bangsa. Ia menolak tesis yang mengatakan bahwa di era modern ideologi telah mati alias tidak penting. Ia justru beranggapan bahwa ideologi menjadi pilar penting di tengah persaingan bangsa-bangsa di era modern ini.

Ideologi menjadi semacam identitas sekaligus kompas yang menentukan arah bangsa. Tanpa ideologi yang jelas dan kuat, sebuah bangsa atau negara berpotensi terombang-ambing di tengah kontestasi dunia global.

Namun demikian, di era modern ini, sebuah bangsa tentu tidak bisa menutup diri dari pergaulan internasional. Di era modern, mustahil sebuah bangsa atau negara bisa membangun peradaban maju tanpa berkolaborasi dengan negara lain, apalagi mengisolasi diri.

Sebagai contoh, Korea Utara yang menganut politik soliter alias mengasingkan diri dari dunia internasional. Korut menjadi contoh bagaimana ideologi tertutup menjadi hambatan bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa.

Maka, tantangan terberat di era modern ini adalah mempertahankan identitas dan karakter bangsa, namun tetap menjadi bagian dari komunitas global. Dengan kata lain, bagaimana mempertahankan kepentingan bangsa sendiri, dengan tetap menjunjung nilai global seperti hak asasi manusia, toleransi agama, keadilan gender, kesadaran lingkungan, dan sejenisnya.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sebenarnya sudah didesain untuk mempertemukan kepentingan nasionalisme dan internasinalisme. Bahkan, sebelum dirumuskan secara final ke dalam lima sila seperti kita kenal hari ini, Sukarno sbenernya menawarkan konsep Trisila yang terdiri atas sosio-nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan.

Trisila itu dirumuskan dari spirit nasionalisme dan internasinalisme, yakni startegi dua arah ke dalam (internal) dan ke luar (eksternal). Maknanya, bagaimana kita sebagai bangsa harus membangun rasa cinta tanah air dengan mempertahankan jati diri, namun menjunjung semangat solidaritas kemanusiaan global yang melampaui sekat agama dan bangsa.

Pancasila menjadi ideologi yang mempertemukan paham-paham ekonomi politik dunia yang mainstream kala itu, yakni demokrasi-kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Sila-sila dalam Pancasila dirumuskan untuk mengakomodasi spirit nasionalisme inklusif.

Yakni nasionalisme yang terbuka dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa lain. Pancasila menentang konsep nasionalisme sempit alias chauvinisme yang fanatik pada bangsa sendiri namun merendahkan bangsa lain.

Sedangkan prinsip internasionalisme dalam Pancasila adalah spirit persaudaraan lintas bangsa dan negara untuk mewujudkan solidaritas kemanusiaan global dan mematikan hubungan internasional setara dan saling menghormati. Pancasila meyakini bahwa perdamaian dan keadilan dunia bisa terwujud melalui kolaborasi bukan kompetisi antar bangsa.

Di era sekarang, ketika dunia memasuki era kontestasi ekonomi dan politik dengan perang narasi, Pancasila menjadi tameng bangsa dalam melawan intevensi asing. Penerapan Pancasila di tengah ancaman intervensi asing menjadi hal yang urgen dan mutlak. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil antara lain.

Pertama, memastikan hubungan bilateral antara Indonesia dan negara asing dibangun di atas dasar sukarela, kerjasama saling menguntungkan, dan penghormatan atas kedaulatan masing-masing negara. Relasi bilateral antara Indonesia dan negara asing tidak boleh didasarkan atas prinsip relasi kuasa dimana ada pihak superior dan inferior. Ini penting untuk memastikan Indonesia bisa tetap mandiri dan berdaulat tanpa harus mengucilkan diri dari pergaulan internasional.

Kedua, mematikan semua aktor non negara seperti NGO, lembaga penelitian, perusahan multinasional, media massa, atau entitas sipil lainnya yang berafiliasi dengan pihak asing untuk tetap menghormati kedaulatan hukum di Indonesia. Bagaimana pun juga, Indonesia memiliki sistem dan hukum sendiri yang berdaulat dan tidak boleh diintervensi oleh pihak asing.

Maka, sudah menjadi keniscayaan bagi lembaga sipil asing yang ada di Indonesia untuk patuh pada aturan hukum dan menghormati kebijakan yang diambil pemerintah. Jangan sampai, lembaga sipil asing justru menjadi benalu dalam sistem bernegara kita.

Ketiga, memastikan bahwa seluruh warganegara memiliki komitmen tinggi untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Jangan sampai, warga sipil tergiur menggadaikan kedaulatan bangsa demi kepentingan asing. Seperti kita tahu, banyak organisasi masyarakat sipil atau tokoh masyarakat yang justru kerap berpijak ke kepentingan asing ketimbang membela kedaulatan bangsa sendiri. Mereka rela menyebar opini negatif tentang kondisi bangsa, bahkan tega menjual data negara demi kepentingan asing.

Sekali lagi, intervensi asing di era sekarang tidak selalu mewujud pada ancaman militer. Di era sekarang, hegemoni asing justru lebih sering dipraktikkan melalui strategi kultural. Salah satunya dengan menyebar narasi negatif di media sosial.

Pihak asing menggunakan pengaruhnya melalui tokoh masyarakat, influencer, jurnalis, sampai aktivis untuk memproduksi dan mendistribusikan isu atau narasi yang bertendensi menimbulkan kecemasan dan menurunkan kepercayaan dunia terhadap Indonesia. Tujuannya tentu saja adalah mendelegitimasi kinerja pemerintah yang sah. Inilah yang harus kita lawan bersama.

Facebook Comments