Pancasila; Titik Temu Keagamaan dan Kebangsaan

Pancasila; Titik Temu Keagamaan dan Kebangsaan

- in Narasi
1107
0
Pancasila; Titik Temu Keagamaan dan Kebangsaan

Jelang Hari Kelahiran Pancasila (1 Juni), media sosial dihebohkan video penggalan ceramah Khalid Basalamah. Dalam video itu, ia menganjurkan jemaahnya untuk tidak ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tidak jelas benar apa alasan ia mengeluarkan anjuran tersebut. Dalam video klarifikasi yang ia unggah di saluran Khalid Basalamah Official Channel dengan 1 juta lebih pengikut ia hanya menyebut bahwa ceramah itu terjadi tahun 2017 dan konteksnya ialah menjawab pertanyaan jemaah.

Berkali-kali, penceramah agama seperti Khalid Basalamah ini membuat ulah; mengeluarkan pernyataan kontroversial tanpa merasa bersalah. Inilah ciri utama kelompok salafi-wahabi yang lihai berretorika dan berkelit ketika melakukan kesalahan. Mereka hidup di Indonesia; bekerja, berumah tangga dan beranak-pinak di bumi yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh para pendahulu.

Namun, mereka tidak mau tunduk pada aturan negara dan pemerintah. Mereka berusaha menulis ulang sejarah (versi) mereka sendiri dan membikin aturan sendiri yang ironisnya bertentangan dengan dasar dan falsafah kebangsaan. Maka, tidak berlebihan jika di media sosial, seorang pegiat isu toleransi dan pluralisme, Ayang Utriza Yakin menyuruh Khalid Basalamah agar hengkang dari NKRI jika tidak sepakat dengan aturannya.

Sub Judul

Anjuran Basalamah untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pernyataan sejenis seperti larangan hormat bendera merupakan bentuk kesesatan berpikir kelompok wahabi-salafi kontemporer. Mereka kerap berpandangan bahwa antara keagamaan dan kebangsaan ialah dua hal yang berbeda bahkan bertentangan. Atas dasar logika sesat itulah mereka menolak NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan segala simbol dan lambang negara karena dianggap bertentangan dengan Islam.

Namun, mereka tetap hidup di Indonesia; mencari nafkah dengan memanfaatkan fasilitasnya. Hanya ada satu kata untuk menggambarkan orang-orang seperti ini, yakni hypocrite alias munafik. Bagaimana tidak? Sebagai WNI, kita terikat aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya ialah mengekspresikan kecintaan pada bangsa dan negara dengan menghormati lambang dan simbol negara. Termasuk menyanyikan lagu kebangsaan di momen tertentu.

Basalamah kiranya harus belajar kembali tentang keislaman dan kebangsaan. Dalam urusan keagamaan, boleh jadi dia otoritatif; hafal hadist, paham Bahasa Arab dan sejenisnya. Namun, itu saja tidak cukup tanpa komitmen kebangsaan yang kuat. Basalamah kiranya harus belajar dari para kiai NU dan ulama Muhammadiyah. Dalam setiap perhelatan acara di lingkungan NU dan Muhammadiyah, lagu Indonesia Raya selalu dikumandangkan. Seluruh peserta mulai orang biasa sampai tokoh berdiri secara khidmat. Lantas, apakah kita meragukan keimanan para kiai NU dan ulama Muhammadiyah hanya karena mereka menyanyikan lagu kebangsaan?

Para kiai NU dan ulama Muhammadiyah itu justru tengah menunjukkan kualitas keimanannya sekaligus komitmen kebangsaannya. Mereka memahai betul bagaimana menjadi manusia Indonesia sekaligus menjadi umat Islam tanpa menegasikan salah satunya. Keislaman bukanlah alasan untuk menegasikan komitmen kebangsaan. Sebaliknya, identitas keindonesiaan juga tidak menjadi penghalang muslim untuk menjalani laku keislamannya.

Dimensi kebangsaan dan keagamaan itu telah bertemu dalam satu titik, yakni Pancasila. Kaelan dalam bukunya Negara Pancasila menyebutkan bahwa secara epistemologis, Pancasila dirumuskan dari setidaknya tiga basis pemikiran. Pertama, pemikiran dan kebudayaan Nusantara yang mengandung nilai-nilai sosial-budaya yang luhur. Kedua, ideologi-ideologi besar dunia modern mulai dari sosialisme, sampai liberalisme dan demorasi. Ketiga, saripati ajaran agama-agama besar, termasuk Islam.

Berangkat dari itu, irelevan kiranya jika ada pandangan yang membenturkan antara Pancasila dan Islam. Pola pikir yang seperti itu sama saja tidak mengakui kredibilitas dan integritas tokoh-tokoh Islam yang duduk di BPUPKI dan PPKI, badan yang terlibat langsung dalam perumusan, penyusunan dan pengesahan Pancasila. Selain itu, membenturkan antara keagamaan dan kebangsaan ialah bentuk kegagalan dalam memahami esensi Pancasila dan Islam itu sendiri.

Di satu sisi, Islam ialah agama yang universal alias rahmatan lil alamin. Islam datang tidak untuk mengubah seluruh sistem sosial-politik serta kebudayaan masyarakat dan menggantinya dengan sistem yang sepenuhnya baru. Di era awal dakwah Islam di Mekkah, Rasulullah tidak menegasikan semua kebudayaan masyarakat Arab. Kebudayaan masyarakat Arab pra-Islam yang sekiranya baik, seperti teknologi pertanian, budaya sastra dan sejenisnya diafirmasi oleh Islam. Sebaliknya, budaya yang tidak beradab (jahiliyyah) seperti penindasan pada perempuan, mabuk-mabukan, perbudakan, peperangan antarsuku dan sejenisnya perlahan dihapus oleh Islam.

Di sisi lain, Pancasila sebenarnya juga merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Islam. Semua sila dalam Pancasila dapat dicari rujukaannya dalam Islam, baik di dalam al Quran maupun hadist. Tidak ada satu pun sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Pancasila dengan demikian merupakan titik temu yang memungkinkan komitmen kebangsaan dan sakralitas keagamaan bisa berjalan beriringan tanpa saling menegasikan.

Facebook Comments