Pandemi, Paradoks, dan Provokasi

Pandemi, Paradoks, dan Provokasi

- in Narasi
2258
4
Pandemi, Paradoks, dan Provokasi

Dalam menghadapi pandemi Corona, kita dihadapkan pada paradoks, yang satu dengan yang lain bertentangan. Di satu sisi, kita disuruh untuk tidak cemas, tetapi di sisi yang lain, media justru memprovokasi. Di satu waktu kita dihimbau agar tidak takut, tetapi pada saat yang bersamaan format pemberitaan justru sebaliknya, sangat menakutkan.

Pandemi Corona menyingkap sisi paradoks manusia. Paradoks ini bukan hanya terlihat pada respons masyarakat, melainkan juga pada level kebijakan pemerintah. Setiap hari kita diperintahkan agar memakai masker, tetapi sampai sekarang di tempat mana kita dengan mudah bisa menemukan masker? Tidak ada.

Meski kita tidak bisa menghilangkan paradoksa dalam kehidupan, karena memang ia salah satu sifat dasar alam, tetapi yang harus kita waspadai adalah adanya sekelompok orang yang memanfaatkan sikap paradoks pemerintah, media, dan masyarakat ini untuk kepentingan pragmatis kelompok tertentu.

Kita dengan mudah menemui di sosial media banyak yang memprovokasi. Pemerintah dituduh plin-plan, tidak tegas, tidak pro-rakyat, sampai ada yang menyodorkan syariat Islam sebagai solusi mengatasi Corona.

Baca juga : Jauhi Hoaks dan Provokasi: Merawat Nalar di Masa Pandemi

Provokasi dimainkan, karena mereka lihat masyarakat bingung di tengah-tengah kepungan kebijakan dan pemberitaan yang tek menentu. Dulu bilang A, sekarang bilang B. di tempat ini bilang X, tempat itu bilang Y. Belum ada kesatupaduan dalam menangani Corona.

Efek samping dari paradoks dan ketidaksinkronan ini, tidak sedikit kelompok tertentu mempertentangkan Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Pusat. Bahkan dengan terang-terangan, mereka memprovokasi bahwa Pusat tidak becus, gubernur inilahyang top dan tau persoalan yang sebenarnya.

Narasi “gubernur rasa presiden,” “gubernur Indonesia,” dan sederet narasi provokatif , sektarian, dan penuh dengan kepentingan politik, menghiasi media sosial kita. Corona dijadikan sebagai ajang untuk mendulang suara, mencari simpati untuk kepentingan politik.

Tidak ada cara lain untuk menghilangkan provokasi ini selain perlu kebijakan yang sinkron dan terintegrasi. Kita harus satu komando, satu tujuan dalam memerangi virus yang sangat berbahaya ini. Dari Pusat sampai ke daerah harus satu garis perintah. Jangan ada yang menggunting dalam lipatan dan mengambil keuntungan di tengah kegentingan ini.

Sinergistas sangat dibutuhkan sekarang. Jika dari Pusat sudah bilang A, maka sampai ke bawah juga harus A. Yang sering terjadi, di Pusat A, tetapi eksekusinya di bawah malah B. ditambah lagi pemberitaan media yang kadang memperkeruh suasana.

Sikap paradoks ini sangat rawan dimanfaatkan oleh penumpang gelap. Berbekal sosial media, dibangunlah narasi bahwa pemerintah anti-Islam sebab ada larangan berkumpul-kumpul termasuk dalam rumah ibadah. Provokasi ini muncul sebab sifat paradoks yang dipertontonkan, yakni adanya tempat belanja, pesta pernikahan, rapat kerja yang masih mengundang orang banyak untuk berkumpul.

Provokasi “kenapa kami dilarang beribadah, sementara mereka tidak” dimainkan. Pemerintah dituduh tidak berpihak kepada agama tertentu. Seolah-olah hanya “kami” yang dilarang berkumpul sementara mereka tidak.

Penolakan jenazah di beberapa wilayah tertentu, juga akibat dari sikap paradoks kita. Sebagaimana terjadi di lapangan, kita disuruh agar jangan panik, tetapi data-data dari berbagai sumber serta isi pemberitaan media justru menyatakan sebaliknya.

Adanya kesatupaduan sikap, tindakan, dan kebijakan akan meminimalisir aksi-aksi provokasi dari kelompok tertentu. Kita harus tetap waspada terhadap muncul provokator-provokator yang mendramatisir keadaan seperti saat ini.

Kita harus satu komando, satu suara, dan satu tujuan. Agar virus ini bisa dengan cepat bisa ditanggulangi. Mari sejenak membuang perbedaan pilihan politik, kita fokus bergandengan tangan menangkal Corona. Tidak ada masalah yang tanpa solusi dan tidak ada ujian yang tanpa penyelesaian jika semua aspek dan lini masyarakat terlibat aktif.

Facebook Comments