Paradigma Dakwah Nusantara; Mengadaptasi Kultur Lokal, Menangkal Ideologi Transnasional

Paradigma Dakwah Nusantara; Mengadaptasi Kultur Lokal, Menangkal Ideologi Transnasional

- in Narasi
1092
0
Paradigma Dakwah Nusantara; Mengadaptasi Kultur Lokal, Menangkal Ideologi Transnasional

Hari Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember harus diakui kurang begitu bergaung di tengah masyarakat. Padahal, Hari Nusantara merupakan peringatan penting lantaran berkaitan langsung dengan kedaulatan NKRI, baik secara geografis, politis maupun sosiologis. Hari Nusantara merupakan momentum peringatan atas diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat.

Selain menghormati jasa Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja yang telah memperjuangkan kedaulatan wilayah laut dan pulau Indonesia di dunia internasional, peringatan Hari Nusantara juga penting untuk membangun komitmen bersama menjaga kedaulatan NKRI, dari ancaman pihak asing, baik itu ancaman serangan militer, maupun ancaman yang datang dari penyebaran paham, ideologi atau gerakan yang bertentangan dengan NKRI.

Di era pasca-kolonial ini, ancaman agresi militer asing ke Indonesia tampaknya sulit terjadi. Sebaliknya, ancaman nyata bagi kedaulatan negara justru kerap hadir dari ideologi atau gerakan transnasional yang bertentangan dengan dasar dan falsafah bangsa. Seperti yang terjadi dua dekade belakangan ini dimana kedaulatan bangsa dan negara berkali-kali digoyang oleh gerakan radikal berbasis keagamaan (Islam). Gelombang gerakan Islam transnasional yang mengusung agenda khilafah harus diakui berhasil menjadi ancaman serius bagi ketahanan nasional.

Di level akar rumput, gerakan khilafah ini banyak dipropagandakan oleh para agennya melalui dakwah Islam yang bercorak provokatif dan memecah belah. Para agen pengasong khilafah membajak dakwah Islam untuk membangkitkan sentimen kebencian umat Islam pada pemerintah. Dakwah yang esensinya mengajak pada kebaikan pun bertransformasi menjadi ajang mengumbar cacimaki, kebencian dan pembangkangan pada pemerintah yang sah.

Dalam situasi yang demikian inilah, mempopulerkan kembali model dakwah Islam berparadigma kenusantaraan menjadi penting dilakukan. Dakwah Islam berparadigma kenusantaraan ialah corak dakwah yang menjunjung tinggi spirit pengakuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokalitas Nusantara serta mengakui kedaulatan NKRI sebagai satu hal yang tidak dapat ditawar.

Secara prinsipil, dakwah Islam berparadigma kenusantaraan berorientasi pada tiga hal pokok. Pertama, mengajak masyarakat untuk melakukan kebaikan (amar ma’ruf) berbasis pada nilai dan ajaran Islam yang berpediman pada nilai kemanusiaan. Kedua, mengakui dan menghormati nilai lokalitas Nusantara dan menjadikannya sebagai unsur yang memperkaya khazanah keislaman dan keberagamaan pada umumnya. Terakhir, mengajak masyarakat untuk berkomitmen menjaga kedaulatan bangsa dengan setia pada pemerintahan yang sah.

Urgensi Paradigma Dakwah Nusantara

Paradigma dakwah Nusantara ini urgen untuk membendung arus Islam transnasioal yang menunjukkan sikap anti-pada tradisi lokal dan cenderung ingin menyeragamkan ekspresi Islam ke dalam satu corak, yakni kearab-araban. Islam transnasional dengan segala manuver ideologis-politisnya secara sosio-kultural hanya bisa dilawan dengan mengembangkan paradigma dakwah Nusantara.

Tentunya dengan tidak mengabaikan peran pemerintah yang secara tegas melakukan penegakan hukum terhadap individu atau kelompok yang menyebarkan paham transnasional. Pengembangan paradigma dakwah Nusantara kiranya juga mampu membangun kembali spirit nasionalisme, utamanya di kalangan generasi muda yang belakangan mulai luntur oleh arus globalisasi budaya Barat dan transnasionalisasi ideologi serta gerakan islamisme.

Jika kita kembali ke ajaran Islam yang paling dasar, tampak jelas bahwa Islam sebenarnya sangat akomodatif dengan pluralitas agama dan budaya. Dalam Alqur’an, terdapat ayat yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan berbeda jenis kelamin, bangsa, dan suku untuk li ta’arafu. Makna li ta’arafu kerap kali disimplifikasi menjadi “saling mengenal”. Padahal, makna sejati li ta’arafu ialah saling berbagi dan belajar kearifan. Ini artinya, di dalam realitas sosial yang pluralistik, Islam tidak hanya menyuruh manusia untuk saling mengenal, namun juga saling bertukar paradigma pemikiran serta kebudayaan. Tujuannya ialah menciptakan harmoni sosial yang berlandaskan pada kesetaraan.

Tidak hanya itu, di dalam Islam aspek kebudayaan ialah warisan hikmah ketuhanan yan diturunkan melalui nabi atau rasul. Di dalam Alquran Allah menyebut bahwa Ia mengutus seorang nabi untuk tiap-tiap umat. Jika ditinjau dari sudut pandang tasawuf, semua yang ada di muka bumi ini pada dasarnya berasal dari Allah, termasuk kebudayaan yang beraneka ragam tersebut.

Para sufi meyakini bahwa Allah itu bermanifestasi atau mengejawantah melalui ciptaan-Nya. Maka, segala ciptaan Allah, mulai dari alam semesta, manusia termasuk kebudayaan yang dilahirkan oleh masyarakat merupakan representasi kekuasaan Allah. Dalam kajian ilmu tasawuf, pandangan ini dikenal dengan isitilah tauhid wujudi atau wahdatul wujud. Pandangan wahdatul wujud bukan berarti manusia bisa menyatu dengan Allah, melainkan bahwa Allah hadir dalam seluruh ciptaannya, termasuk manusia dan kebudayaan yang dilahirkannya.

Adalah tugas umat Islam, terutama pada ulama, kiai, ustaz dan da’i pada umumnya untuk membumikan paradigma dakwah Nusantara. Dakwah Islam di era kontemporer ini idealnya memadukan antara upaya untuk adaptif terhadap kultur lokal sekaligus upaya menangkal ideologi transnasional. Dengan demikian, Islam akan menjadi agama yang moderat dalam artian ramah pada budaya dan kearifan lokal sekaligus menjadi pilar penting bagi kokohnya wawasan kebangsaan. Puncaknya ialah Islam akan menjadi agama yang menebarkan rahmat dan berperan dalam menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Facebook Comments