Ada sebuah kearifan Jawa tentang “lelaku” ataupun “laku” yang secara harfiah berarti berjalan. Memang, dalam kearifan Jawa sendiri lelaku ataupun laku itu adalah sebuah kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus, yang berbeda dengan “lakon” yang mesti berjangka waktu.
Dari istilah lelaku ataupun laku itulah, dalam dunia sufisme, istilah “suluk” kemudian mendapatkan persinggungannya. Dan jelas, perjalanan ataupun berjalan di sini adalah sebuah kegiatan batin atau eksplorasi ke dalam diri.
Kenapa mesti mengadakan perjalanan atau berjalan, ketika konon segalanya sudah tertata sebagaimana kabar yang cukup dikabarkan dimana kemudian orang dituntut untuk mempercayainya?
Ibarat orang travelling di dunia nyata, ternyata perjalanan atau berjalan itu akan menyingkapkan satu hal yang pasti: tak adanya singularitas atau yang akrab dikenal sebagai hal yang “sekedar satu-satunya.”
Pada pemahaman seperti itulah, ketika orang berbicara tentang tuntutan ataupun klaim “kemurnian akidah,” maka orang itu seakan tengah hidup di sebuah goa yang perspektifnya sudah pasti terhalang oleh berbagai dinding.
Klaim kemurnian akidah pernah mewarnai perjalanan panjang agama-agama, dan tampaknya klaim itulah yang menyebabkan agama tampil dengan kebengisan yang tiada tara—meskipun banyak aspek agama-agama lainya yang positif dan konstruktif bagi kemanusiaan dan peradaban.
Seumpamanya dalam agama Islam dimana konon Tuhan betul-betul tak bisa diperbandingkan, yang tentu saja, dengan klaim itu, maka perspektif Nagarjuna yang Buddhis, yang menyatakan hal itu sebagai “sunyata” memiliki persinggungan. Dan otomatis, klaim kemurnian itu menjadi tak lagi murni ketika ternyata, baik teologi Islam mainstream dan teologi Buddha dalam tangkapan Nagarjuna memiliki persinggungan atau mereka bukanlah satu-satunya.
Tuntutan dan klaim kemurnia akidah, yang berdasarkan data-data sejarah cukup banyak mendatangkan mudarat daripada manfaatnya, rupanya juga dapat terlahir dari kepicikan dalam menyelami agama sendiri yang pada dasarnya cukuplah multidimensional, semultidimensional manusia yang menjadi pengguna utamanya.
Karena multidimensionalitas itulah, maka terdapat kearifan seperti halnya lelaku (kearifan Jawa) ataupun suluk (kearifan agama) yang konon dapat membuat seseorang tak hanya “hidup” pada satu dimensi belaka, mengingat manusia yang pada dasarnya tak hanya terdiri dari tubuh belaka, namun juga hati, dst.
Maka, ketika orang berpikir dengan paradigma multidimensionalitas, lantas apakah batas kemurnian akidah itu, batas yang seturut dengan tubuh (dengan segala kehidupannya) atau batas yang seturut dengan hati (dengan segala kehidupannya), dst., padahal terbukti bahwa realitas manusia itu tak hanya terdiri dari tubuh belaka?
Kemurnian akidah, yang dalam perjalanan sejarahnya memang identik dengan kaum radikal, terbukti memiliki pola kehidupan yang berkisar pada satu dimensi belaka, dimensi tubuh. Pasca peristiwa ’65, jelas ukuran kemurnian akidah itu adalah tak jauh dari tubuh, seperti membabat pohon-pohon sesembahan yang sejatinya mampu menyerap air ketika terjadi banjir, atas nama praktik TBC (takhayul, bid’ah, churafat). Di masa kini, ketika pohon-pohon sesembahan sudah punah akibat aksi kemurnian akidah pasca ’65, tetap saja ukuran kemurnian akidah itu tak jauh pula dari tubuh: jilbab, hijab, kekuasaan terpusat ala imamah, dsb.