Paradoks AI; Antara Kemalasan Berpikir dan Ancaman Radikalisasi

Paradoks AI; Antara Kemalasan Berpikir dan Ancaman Radikalisasi

- in Narasi
122
0
Paradoks AI; Antara Kemalasan Berpikir dan Ancaman Radikalisasi

Sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya, Homo Deus menyebut bahwa ancaman terbesar umat manusia adalah datangnya artificial intellegence alias kecerdasan buatan. Harari mengistilahkan AI sebagai automaton alias mesin cerdas yang bosa berpikir, menganalisa, dan menyimpulkan sendiri tanpa bantuan manusia. Puncaknya, automaton itu lantas menggantikan manusia sebagai makhluk yang punya kesadaran berpikir.

Kekhwatiran Harari itu patut kita cermati seksama. Terutama pada bagian yang menyebut bahwa mesin automaton AI bisa menggantikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran berpikir. Kesadaran berpikir adalah kemampuan untuk menggunakan akal dalam memecahkan persoalan atau mencari pengetahuan. Agaknya, kekhawatiran Harari tentang tergerusnya kesadaran berpikir manusia akibat AI ini kian terbuktikan belakangan ini.

Munculnya aplikasi berbasis AI yang memudahkan pekerjaan manusia dalam banyak bidang lantas membuat manusia menjadi malas berpikir. Kemunculan ChatGPT misalnya membuat manusia cenderung berpikir instan dan lebih suka mencari jawaban pada aplikasi tersebut. Manusia lambat lain akan menjadi malas membaca, karena bahkan lama kelamaan akan dicap sebagai pekerjaan sia-sia.

Kemunculan AI generative, juga serupa. Yakni membuat manusia cenderung malas menggunakan daya imajinasinya dalam berkreasi di bidang seni dan budaya. Semua tugas memproduksi karya seni dan budaya kini bisa dipasrahkan ke aplikasi AI. Membuat karya seni seperti musik, lukisan, bahkan puisi kini bisa dipasrahkan pada AI.

Hilangnya Rasionalisme dan Kritisisme Menjadi Celah Tumbuhnya Radikalisme

Inilah yang disebut sebagai paradoks teknologi AI. Produk kecerdasan buatan yang dibuat untuk memudahkan kehidupan manusia dan membuat peradaban menjadi lebih baik, dalam perkembangannya justru mengancam eksistensi manusia sebagai mahluk berpikir. Atau dalam istilah Al Ghazali, hewan yang berpikir (al hayawanu nathiq). Gegara AI, manusia menjadi malas berpikir dan berkreasi mendayagunakan kreativitasnya.

Kemalasan berpikir dan berkreasi akibat kemudahan yang dihasilkan AI ini adalah tantangan serius bagi generasi Alpha (lahir 2013 hingga sekarang). Mereka inilah yang dimasa depan akan hidup di tengah gelombang perkembangan AI yang nyaris tanpa batas. Matinya daya pikir kritis dan kemampuan berimajinasi generasi Alpha tentu menjadi celah yang memungkinan ideologi radikal tumbuh subur. Banyak riset menunjukkan bahwa paham radikal ekstrem itu berkembang di masyarakat yang memiliki setidaknya dua karakter.

Pertama, masyarakat yang intoleran dan eksklusif. Yakni masyarakat yang enggan menerima kemajemukan dan menganggap kaum minoritas sebagai ancaman atau musuh. Ditengah masyarakat yang demikian ini, ideologi radikal ekstrem niscaya tumbuh subur.

Kedua, masyarakat yang kehilangan rasionalitas dan nalar kritisnya dalam memahami sebuah isu atau wacana. Masyarakat yang demikian ini cenderung malas berpikir dan lebih memilih jalur instan dalam mencari pengetahuan atau jawaban atas sebuah persoalan.

Matinya rasionalitas dan kritisisme ini acapkali juga dibarengi dengan keringnya imajinasi. Alhasil, masyarakat gagal memproyeksikan arah ke depan. Lantas, masyarakat hidup dalam labirin nihilisme alias tanpa tujuan. Masyarakat yang memiliki karakter demikian ini akan mudah mengalami proses radikalisasi diri.

Di titik inilah, kita patut merenungkan kembali hakikat AI. Sebagai teknologi buatan manusia AI tentu bertujuan untuk mendorong peradaban manusia selangkah lebih maju. Bukan justru mengancam eksistensi manusia sebagai makhluk yang berpikir, berimajinasi, dan berkreasi.

Etika dan Literasi Digital untuk Meredam Paradoks AI

Arkian, kelahiran AI idealnya tidak membuat kedaulatan berpikir dan berimajinasi manusia hilang lalu menjadi celah radikalisasi. Kehadiran AI idealnya juga tidak melunturkan dimensi kemanusiaan kita. Justru sebaliknya, AI harus memperkuat prinsip kemanusiaan. Adaptasi AI untuk tujuan kemanusiaan sebenarnya telah banyak dilakukan.

Antara lain, oleh Badan Pangan PBB yang menggunakan teknologi blockchain untuk distribusi bantuan pangan ke negara miskin. Teknologi blockchain itu memungkinkan pengawasan distribusi bantuan pangan secara merata, menganalisa dampak bantuan pangan serta memetakan mana negara yang membutuhkan bantuan pangan.

Tidak hanya itu, sejumlah badan penangangan bencana di banyak negara juga telah mengadaptasi teknologi IoT (Internet of Things) dalam penanganan bencana alam. Saat gempa Nepal tahun 2015 misalnya, ketika akses jalan terputus, drone yang diterbangkan tim penyelamat bisa memberikan gambaran real time di lapangan tentang kondisi para korban dan penyintas bencana. Tidak hanya itu, melalui analisa cuitan di media sosial Twitter (sekarang X), kebutuhan para korban dan penyintas pun bisa dipetakan secara detail.

Paradoks AI ini bisa diminimalisasi dengan jalan menegakkan etika digital. Mulai dari kalangan ilmuwan (pencipta AI), perusahaan swasta yang memasarkan AI, otoritas pemerintah, serta masyarakat sebagai pengguna AI itu sendiri. Pihak perusahaan dan para engineer yang mengembangkan AI idealnya berpikir bahwa AI adalah pelengkap, bukan pengganti manusia.

Pengembangan AI harus berdasar pada prinsip humanity above everything, yakni kemanusiaan melampaui segalanya. Jangan sampai, ambisi untuk menciptakan mesin cerdas justru mengkhianati spirit humanisme yang menjadi ruh gerakan modernisme itu sendiri. Demikian pula, pemerintah wajib menyusun regulasi khusus tentang AI.

Terutama untuk mencegah penyalahgunaan AI oleh kelompok kriminal, apalagi gerakan radikal-teror. Harus ada UU yang secara khusus mengatur pengembangan dan penggunaan AI agar tidak membahayakan keamanan nasional. Terakhir adalah pentingnya menguatkan literasi digital di kalangan masyarakat. Lagi-lagi, literasi digital adalah kunci agar masyarakat tidak mengalami gegar budaya dalam merespons perkembangan AI.

Facebook Comments