Di Swedia dan Denmark atas nama kebebasan berpendapat orang bisa menghina dan menyakiti keyakinan orang lain. Membakar kitab suci diijinkan atas nama kebebasan berpendapat. Harus demokrasi dan kebebasan berpendapat dijalankan dengan prinsip seperti itu? Atau atas nama kebebasan berpendapat, bisakah orang melancarkan kritik dengan menghina martabat orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengingatkan pada teori “paradox toleransi” yang dikemukan Karl Popper. Baginya, kebebasan berpendapat merupakan prinsip fundamental dalam berdemokrasi. Namun, kebebasan tersebut akan berbahaya jika diberlakukan tanpa batas. Kebebasan berpendapat bukan berarti kebolehan untuk menyuarakan segala jenis pandangan, termasuk pandangan yang tidak toleran atau ekstrem.
Paradoks toleransi menunjukkan bahwa kita tidak bisa terlalu toleran terhadap pandangan yang tidak toleran. Jika kita toleran kepada intoleransi justru akan merusak toleransi itu sendiri. Toleransi akan hancur ketika kita merawat intoleransi atas nama kebebasan berpendapat. Pandangan yang ekstrem, intoleran dan ketidaksantunan atas nama kebebasan berpendapat tidak bisa diterima karena akan merusak prinsip demokrasi.
Dalam iklim demokrasi dan masyarakat terbuka yang mempromosikan kebebasan berpendapat sekalipun, ada titik di mana toleransi dan kebebasan berpendapat harus memiliki batasan. Batasan tersebut adalah pandangan, ideologi atau pendapat yang dapat mempromosikan kekerasan, penindasan, gangguan hak asasi manusia dan hal yang berpotensi martabat dan harakat seseorang sebagai manusia.
Etika yang Membatasi Kebebasan Berpendapat
Haruskah kebebasan berpendapat dibatasi oleh etika? Jawabannya harus! Etika tidak membungkam kebebasan, tetapi mengatur dan mengelola agar berpendapat dapat menyuburkan demokrasi, bukan malah mengganggu kesehatan demokrasi. Etika demokrasi harus ditegakkan agar berpendapat tidak justru merusak nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.
Pada prinsipnya, etika dalam demokrasi dijalankan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan tanggungjawab sosial. Etika dan tanggungjawab moral harus berperan memastikan kebebasan berpendapat tidak disalahgunakan untuk merusak hak-hak asasi manusia atau harkat martabat kemanusiaan.
Contoh kongkret, orang tidak boleh menghina kepercayaan dan keyakinan orang lain atas nama kebebasan berpendapat. Dengan alasan kebebasan, orang atau pun kelompok tidak dibenarkan untuk membakar kitab suci agama lain atas nama protes kebebasan. Jika itu dilakukan yang ada bukan ekspres kebebasan, tetapi kebencian.
Kebebasan Berpendapat, Bukan Kebebasan Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian dan ketidaksantunan (incivility) tidak bisa dilaksanakan atas nama kebebasan. Batasan kebebasan berpendapat harus berada di garis merah yang berpotensi merusak hak asasi manusia dan harkat martabat kemanusiaan individu. Ujaran kebencian tidak bisa dilindungi atas nama kebebasan berpendapat. Sama halnya, dengan ujaran yang mempromosikan kebencian dan pandangan ekstrem yang tidak bisa ditoleransi atas nama kebebasan berpendapat.
Di sinilah etika memainkan peran penting dalam mengontrol kebebasan berpendapat. Ketidaksantunan yang berlebihan dengan merendahkan secara pribadi orang lain dalam ruang demokrasi dan diskusi terbuka. Pendapat yang tajam berbeda dengan Bahasa yang tidak santun. Ketidaksantunan justru akan merusak diskusi yang produktif.
Etika kesantuan sekali lagi bukan membungkam kritik yang tajam, tetapi ingin memastikan diskusi logis berjalan dalam batas etika yang konstruktif. Pendapat harus disertai dengan tanggungjawab moral dan sosial. Kebebasan berpendapat bukan justifikasi untuk merusak harkat martabat manusia.