Patroli Online; Cara Milenial Berantas Hate Speech

Patroli Online; Cara Milenial Berantas Hate Speech

- in Narasi
1345
1
Patroli Online; Cara Milenial Berantas Hate Speech

Kita boleh bergembira dengan hadirnya media sosial dalam sistem interaksi masyarakat. Bahwa melalui media sosial, jarak yang awalnya menjadi kendala terbesar dalam interaksi, dilipat sedemikian rupa sehingga kapan pun kita bisa menyambung silaturahmi via media sosial. Di samping itu, juga bisa mengetahui informasi dari belahan pulau dan dunia mana pun tanpa berkunjung ke tempat tersebut.

Hanya saja, kewaspadaan juga perlu kita tingkatkan seiring dengan mudahnya informasi yang tersebar di media sosial. Soalnya, media sosial hari ini justru lebih banyak dijadikan media untuk tebar kebohongan dan kebencian, dengan berbagai motif; dari politik hingga sekadar ekspresi kebencian kepada liyan. Semprotan kebencian dan kebohongan yang dilakukan terus menerus, hingga warganet juga mengonsumsinya tiap waktu, tentu akan mempengaruhi pola pikir mereka. Alih-alih mendapat informasi segar nan menyejukkan, kesehariannya malah mendapat informasi provokatif yang kerap membuat urat leher menegang.

Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) dalam surveinya juga menemukan, bahwa media sosial merupakan media terbesar yang digunakan untuk menebarkan berita bohong dan tentu kebencian. Jika diprosentasi, lebih dari 90 persen, dibanding media lain seperti media massa dan televisi. Tercatat, setidaknya kini ada sekira 130 juta masyarakat Indonesia yang aktif di media sosial seperti twitter, instagram, dan facebook. Jika berita bohong dan semprotan kebencian mewarnai media sosial yang ‘berpenduduk’ ratusan juta, apalagi tidak diterima dengan kritis, tentu akan berbahaya.

Baca juga :Ronda Digital: Peran Generasi Millennial dalam Menangkal Narasi Kebencian di Media Sosial

Narasi kebencian yang dikonsumsi secara berulang-ulang, pada titik tertentu akan dianggap sebagai kebenaran. Sehingga, bukan hal yang mustahil bila ada seseorang memenci liyan tapi tidak tahu alasannya apa. Ia hanya mengikuti narasi kebencian yang dikonsumsi di media sosial. Dengan kata lain, narasi kebencian telah mempengaruhi pola pikir seseorang dalam melihat sesuatu.

Untuk menanggulangi gejala benci tanpa tahu alasannya, maka diperlukan edukasi yang melibatkan masyarakat melek media. Bahwa realitas media sosial tidak berbanding lurus dengan realitas obyektif di lapangan. Pun, kebencian yang ditebarkan di media sosial, perlu diteliti dengan menelusuri penyebar kebencian dan mencari pembanding sumber lain. Di tahun politik, kewaspadaan kita juga mesti ditingkatkan, karena dengan mudah isu apapun bisa dipolitisasi demi memenangkan kandidat tertentu atau menjatuhkan lawan politiknya.

Memberantas ujaran kebencian amatlah sulit karena tidak berinteraksi secara langsung. Melainkan teks-teks yang kita hadapi. Tentu tidak ada beban moral atau ‘intervensi’ belas kasihan ketika seseorang berinteraksi melalui media sosial. Amat berbeda ketika kita interaksi langsung, dengan melihat mimik wajah lawan bicara, setidaknya kita bisa mendeteksi kondisi psikologisnya, sehingga dalam menyampaikan pendapat atau penilaian terhadapnya, bisa menyesuaikan –membatasi supaya jangan sampai ungkapan kita menyakitinya.

Jalaluddin Rummi mengatakan bahwa cinta dan kelembutan adalah sifat alamiah manusia. Artinya, sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk mencintai sesama. Sementara amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang. Dikatakan begitu karena binatang tidak memiliki atribut untuk mengelola nafsu. Ketika lapar, ia akan makan sekalipun harus bertarung dengan sesama untuk mendapatkan makanan tersebut. Pun, jika dorongan seks memuncak, ia akan mengajak pejantan lain berduel bahkan hingga mati, demi seekor betina idaman.

Jadi jelas, batas manusia dan binatang adalah pada akalnya. Binatang hidup mengikuti insting, sementara manusia memiliki akal untuk mengendalikan diri dan keberadaan akal inilah yang menyebabkan manusia memiliki tugas kekhalifahan di muka bumi. Manusia dipercaya Sang Pencipta untuk mengelola alam semesta, lantaran memiliki potensi untuk mengelolanya.

Begitu juga di era digital seperti sekarang ini. Sebagai makhluk berakal, kiranya tak pantas jika hanya gemar menebar kebencian. Menebar kebohongan hanya untuk menjungkalkan lawan politik. Soal politik kekuasaan hanya sementara, tapi efek dari ujaran kebencian itu bisa mengakar dan mendarah daging, sampai mengeram di alam bawah sadar manusia. Akibatnya, begitu melihat ‘sesuatu yang dibenci’ ada di lingkungannya, tak segan ia menafikannya. Baik dengan ucapan, sikap, maupun tindakan.

Maka, tidak berlebihan kiranya jika kita berjihad menggempur ujaran kebencian dan berita bohong di media sosial. Karena, melalui media sosiallah, masyarakat mendasarkan kebenciannya kepada liyan. Karena narasi-narasi benci di media sosial, masyarakat jadi reaksioner menghakimi kelompok atau individu ini-itu sesat, kafir, biadab, tidak berperikemanusiaan, dan kata-kata menyakitkan lainnya.

Karena tugas manusia adalah menjadi manusia. Sehingga, mewujudkan medsos agar lebih manusiawi –dipenuhi cinta kasih dan kelembutan- adalah kuntji.

Facebook Comments