Di antara yang getol memusuhi Muhammad adalah Shofwan bin Umayyah. Setali tiga uang denganya, ayahnya, Umayyah, juga sangat memusuhi putera Abdullah dan Aminah itu. Anak dan Ayah yang kompak memusuhi kebenaran.
Tidak hanya keduanya, banyak lagi orang Quraisy yang memusuhi Muhammad. Mereka bahkan tega mengusirnya dari Makkah, tanah kelahiran yang begitu dicintainya. Pengusiran inilah yang jauh-jauh hari pernah diisyaratkan oleh Waraqah bin Naufal, seorang yang mendalami al-Kitab, sesaat setelah Muhammad menerima wahyu Qs. al-‘Alaq: 1-5.
Ketika kembali ke Makkah pada 8 H untuk Fathu Makkah (Penaklukan Makkah), Muhammad membawa kekuatan yang besar. Penduduk Quraisy yang memusuhinya dan juga telah mencederai Perjanjian Hudaibah pada 6 H merasa ketakutan. Tidak sedikit yang melarikan diri atau bersembunyi di luar Makkah. Takut jika Muhammad dan shahabatnya membalas dendam atas perlakuan jahat dan kejam mereka.
Di antara yang lari karena takut menerima pembalasan adalah Shofwan bin Umayyah. Jeddah menjadi tempat tujuannya. Dari sana, ia ingin melanjutkan pelariannya ke Yaman dengan menyeberangi lautan. Baginya, ada perasaan lebih baik mati di tengah lautan ketimbang mati hina di tangan musuhnya itu.
Nyatanya, Muhammad sama sekali tidak melakukan pembalasan. Ia dan sahabatnya masuk Makkah dengan penuh kedamaian. Tidak ada tetesan darah. Dengan kebesaran jiwa, ia memaafkan para pembenci dan pengusirnya. Bahkan, ia memberikan aneka hadiah bagi penduduk Makkah dengan penuh keriangan.
Kepalang tanggung, Shofwan yang ketakutan itu tetap meneruskan niatnya melarikan diri ke Jeddah, kendati berbagai informasi telah diterimanya bahwa kedatangan Muhammad bukan untuk menuntut balas, melainkan untuk mengajak dan membina persaudaraan.
Di saat yang sama, Umair bin Wahb datang pada Muhammad. “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya Shofwan melarikan diri darimu. Saat ini ia akan menyeberangi lautan dan akan bunuh diri di sana. Maka, berilah ia jaminan keamanan”, pintanya.
“Dia akan aman,” jawab Muhammad ringan.
“Wahai Rasulullah, berikan padaku tanda jaminan keamananmu,” kata Umair ingin bukti nyata.
Muhammad yang memang datang dengan niat damai itu lalu memberikan ‘imamah atau sorban yang dikenakannya untuk diberikan pada Shofwan yang tetap dalam pelariannya. Berangkatlah Umair memburu karibnya itu dengan membawa bukti jaminan keamanan.
Shofwan ditemukan Umair ketika hendak menaiki kapal menuju Yaman. “Wahai Shofyan, demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya. Ingatlah dirimu. Jangan kau celakakan dirimu sendiri! Aku datang kepadamu dengan membawa jaminan kemananan dari Rasulullah”, kata Umair merayu, sembari menyodorkan sorban Muhammad sebagai tanda jaminan keamanan.
Tetap saja, sebagai orang yang memusuhi Muhammad, tentu Shofwan tidak bisa menyembunyikan rasa takut dan kuatirnya. Jangan-jangan apa yang dikatakan Umair dan sorban yang dikirimkan hanyalah tipu muslihat Muhammad guna mencelakakannya. Kegelisahan mendominasi jiwanya. Ia ingat betul perlakukan buruknya pada Muhammad yang baginya tidak termaafkan.
“Muhammad lebih lembut dan mulia dari yang kau kira,” kata Umair meyakinkan.
Luluhlah Shofyan. Bersama Umair lalu ia kembali ke Makkah menemuni musuhnya, Muhammad. Di hadapan Muhammad, Shofwan berkata: “Inikah orang yang telah engkau berikan jaminan kemananan?”
“Benar,” timpal Muhammad.
“Beri aku waktu dua bulan untuk menentukan sikap,” katanya.
“Engkau aku beri waktu empat bulan”.
Itulah yang dilakukan Muhammad pada musuh-musuhnya. Ia tidak mengintimidasi, memaksa, apalagi membalas dendam dengan semena-mena, kendati kesempatan itu terbuka lebar. Ia tidak pernah memanfaatkan kesempatan untuk berbuat yang tidak semestinya pada pembencinya. Juga pada pengusirnya dan siapapun yang mengkhianatinya.
Saat Fathu Makkah itu, sembari melafalkan ayat “inna fatahna laka fathan mubinan/ Sesungguhnya Kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (Qs. Al Fath: 1), Muhammad juga meneriakkan jaminan keamanan bagi penduduk Makkah. “Siapa yang masuk masjid, maka dia aman. Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya, maka dia aman,” serunya.
Jelas, kedatangan Muhammad ke Makkah bukan untuk menumpas musuh-musuhnya, apalagi menumpahkan darah mereka. Kehadirannya semata untuk membangun peradaban baru dengan iringan kedamaian. Karena itu, banyak ahli yang mengatatakan, inilah sesungguhnya penaklukan yang unik, yang dilakukan tanpa tetesan darah. Penaklukan dengan mengedepankan persaudaraan.
Di zaman ini, semestinya keteladanan penaklukan yang demikianlah – kalaupun harus dilakukan – yang lebih dikedepankan. Ini bukan untuk kepentingan ekspansi wilayah, melainkan untuk membangun persaudaraan baru dengan kelompok-kelompok yang pernah memusuhinya dengan sengit. Memang tidak mudah membangun persaudaraan dengan para musuh, namun itulah nyatanya yang diajarkan Muhammad.