Terdapat dua kecendarungan pengguna media social apabila dihadapkan dengan informasi yang didapat. Pertama, menerima dan meyakini berita atau informasi yang didapat dari media sosial apabila berita atau informasi tersebut sesuai dengan keyakinan pembaca, walaupun pada kenyataannya berita tersebut tidak sesuai dengan data dan fakta. Bahkan tidak sedikit dari pengguna media sosial men-share berita tersebut tanpa harus check and recheck kebernarannya. Kedua, menolak berita yang didapat apa bila tidak sesuai dengan kayakinan pembaca walaupun berita atau informasi tersebut benar dan sesuai dengan data, fakta, dan realitas. Bahkan tidak sedikit pembaca menyalahkan penulis berita atau wartawan yang memberitakannya.Dua kecendurangan tersebtu dialami oleh pengguna media social di era mellinial ini sebagaiman penelitian yang dilakukan oleh Brendan Nyhanand Jason Reifler (2012) berjudul Misinformation and Fact-checking: Research Findings From Sosial Science dan dikutip oleh Nur Aksin dalam jurnal Informatika tahun 2016 yang lalu.
Realitas tersebut selaras dengan fenomina-fenomina di media social saat ini dimana pengguna acap kali menyalahkan penulis apabila data yang diberitakan tidak sesuai dengan keyakinan pembaca, bahkan sering kali tertulis ucapan-ucapan yang tidak baik pada kolom komentar.
Baca juga :Pendidikan Karakter dalam Konten Media Sosial
Komentar-komentar yang kurang baik tersebut menandakan bahwa pengguna media sosial tidak memiliki karakter yang baik karena telah menuliskan ujaran kebencian dan provokasitif. Ujaran kebencian, adu domba, berita bohong merupakan hal yang dilarang oleh agama dan negera karena dapat meretakkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa indonesia. Pada dasarnya dimanapun dan kapanpun kita berada, diharuskan berbuat dan bertindak baik bagi setiap umat manusia (QS. Al-Isra’:7) begitu juga di media sosial, maka penggunanya harus berbuat baik dan bijak dalam menerima informasi yaitu dengan menfilter berita-berita atau informasi yang didapat.
Media sosial merupakan ruang bebas. Siapapun dapat memanfaatkannya untuk kebaikan ataupun kejelekan. Media sosial bergangtung pada pemiliki akun. Jika pemiliki akun memiliki karakter yang baik, maka tentu saja konten dan komentar-komentar di medsos juga baik. Pun juga tidak akan terprovaokasi dengan berita-berita bohong (hoax) yang menyebar di jaga maya. Begitu pula sebaliknya, jika pengguna medsos tidak memiliki karakter baik, maka dapat dipastikan bahwa konten dari pemiliki akun tersebut berisi ujaran kebencian, adu domba dan berita bohong.
Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi kebutuhan bersama untuk ditanamkan bagi seluruh element masyarat terlebih bagi pengguna media sosial. Dengan harapan pengguna medsos tidak mudah terprovokasi dengan akun-akun palsu yang bertujuan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Tujuan dari pendidikan karakter ( Kemendiknas, 2011:7) adalah membentuk individu-individu yang baik yang bersumber dari hati, pikiran, perbuatan, memiliki jiwa pancasilais, cinta tanah air, cinta sesama umat manusia, dan mampu menggembangkan diri untuk menjadi manusia yang bermartabar, jujur, dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Karakter-karakter tersebut harus dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata juga dalam dunia maya.
Terdapat empat raung lingkup dalam pendidikan karakter sebagaimana pendapat Ki Hajar dewantara yaitu olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa. Oleh pikir berarti seorang memiliki sifat cerdas, kritis, kreatif. Sedangkan olah hati adalah seseorang memiliki keimanan yang kuat, bertaqwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, dan berjiwa patriotik. Olah raga berarti seseorang memiliki sifat-sifat menjaga kebersihan dan kesehatan, disiplin, sportif, tangguh, bersahabat, koopratif, diterminatif, gigih dan ceria. Sedangkan olah rasa adalah seseorang memiliki sifat-sifat ramah, tolerance, saling menghargai gotong royong, suka menolong, nasionalis, mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, cinta tanah air, kerja keras, kerja ikhlasn dan kerja tuntas.
Karakter-karakter tersebut harus tertanam dalam diri pengguna media social agar tidak terjebak dalam fanatisme berita-berita bohong. Misal sifat saling menghargai tidak hanya berlaku di dunia nyata tetapi juga berlaku di dunia maya, seseorang harus saling menghargai pendapat orang lain.
Jika seluruh bangsa Indonesia sudah tertanam pendidikan karakter, maka berita-berita bohong, ujuran kebencian, dan adu domba dapat diperangi dan dapat diberantas. Semoga.