Penjajahan Ideologis ala Gerakan Trans-Nasional; Evolusi Neo-Kolonialisme Berjubah Agama

Penjajahan Ideologis ala Gerakan Trans-Nasional; Evolusi Neo-Kolonialisme Berjubah Agama

- in Narasi
6
0
Penjajahan Ideologis ala Gerakan Trans-Nasional; Evolusi Neo-Kolonialisme Berjubah Agama

Kolonialisme sebagai sebuah praktik penjajahan satu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain terus mengalami perubahan. Kolonialisme terus berevolusi seiring dinamika zaman. Di masa lalu, bentuk kolonialisme cenderung sederhana. Yakni penjajahan fisik atas bangsa atau negara lain dengan motif 3G yakni gold, glory, gospel.

Di era klasik, kolonialisme bertujuan untuk mencari kekayaan, kejayaan, dan menyebarkan agama. Ketika kolonialisme klasik berakhir dengan usainya Perang Dunia 2, tata dunia global pun berubah. Persaingan berebut dominasi di panggung internasional tidak lagi dilakukan dengan perang fisik. Melainkan melibatkan strategi yang lebih kompleks. Inilah awal bangkitnya neo-kolonialisme.

Upaya negara-negara maju mendominasi ekonomi, politik, dan budaya negara miskin-berkembang tidak dilakukan dengan cara militeristik. Sebaliknya, kolonialisasi lebih banyak dilakukan dengan cara-cara halus. Kolonialisme di era modern ini mewujud pada keberadaan korporasi multinasional yang mengeruk sumber daya alam dan manusia di negara berkembang-miskin.

Dominasi negara maju-kaya juga tampak pada hegemoni budaya yang dilakukan melalui jaringan media massa dan produk budaya populer. Inilah neo-kolonialisme yang merupakan penjajahan secara halus dan terselubung. Negara miskin dan berkembang dipaksa bergantung pada negara maju-kaya sehingga tidak memiliki kedaulatan di bidang ekonomi dan politik.

Evolusi neo-kolonialisme kini hadir dalam wajah baru, yakni infiltrasi ideologi trans-nasional berjubah agama. Kemunculan organisasi keagamaan trans-nasional seperti Jamaah Islamiyyah, Hizbut Tahrir, Salafi atau ISIS menjadi penanda kebangkitan evolusi neo-kolonialisme berjubah agama. Mereka memadukan pendekatan militeristik dan strategi kultural untuk menguasai sebuah negara atau bangsa.

Di satu sisi, mereka membentuk sel-sel milisi yang dibekali pelatihan dasar militer dan persenjataan untuk melakukan aksi-aksi teror atau kekerasan. Sel-sel milisi ini direkrut dari penduduk lokal atau pun lintas negara, seperti dalam kasus ISIS. Mereka dipersiapkan untuk melakukan revolusi atau kudeta merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah di sebuah negara.

Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam berdasar syariah dan selanjutnya membentuk khilafah islamiyyah yang menguasai seluruh wilayah di dunia. Di sisi lain, mereka juga menggunakan pendekatan sosio-kultural untuk menyebarkan propaganda ideologis dan politisnya. Mereka memanfaatkan media massa, media sosial, universitas, lembaga keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil untuk menginfiltrasikan ideologi yang mereka usung.

Dalam konteks Indonesia, gerakan trans-nasional berjubah agama seperti HT, JI, Salafi, dan ISIS merupakan ancaman yang tidak kalah berbahayanya dengan kolonialisme klasik. Jika kolonialisme klasik seperti penjajahan Belanda dan Jepang telah merampok kekayaan alam Indonesia, maka neo-kolonialisme berjubah agama itu cenderung merusak karakter dan jatidiri bangsa dari dalam.

Propaganda anti-Pancasila, anti-NKRI, anti-UUD 1945, dan anti-lokalitas yang dilancarkan oleh jaringan gerakan trans-nasional berkontribusi pada melemahnya spirit nasionalisme dan patriotisme. Hari ini, kian banyak generasi muda terracuni virus ideologi trans-nasional lalu kehilangan identitasnya sebagai manusia Indonesia yang berjiwa Nusantara.

Generasi yang terpapar ideologi trans-nasional ini cenderung lebih bangga pada budaya Timur Tengah yang dianggap lebih islami. Mereka menghamba pada budaya asing, dan emoh pada budaya warisan leluhur Nusantara. Tanpa sadar, mereka sebenarnya tengah dijajah alam pikirnya oleh ideologi trans-nasional.

Neo-kolonialisme berjubah agama memang kerapkali sulit diidentifikasi. Gerakan ini kerap membonceng isu-isu kemanusiaan global, terutama yang melibatkan umat Islam sebagai korban. Misalnya, genosida muslim di Gaza, Myanmar, Uyghur, India dan sebagainya. Isu-isu dikemas sedemikian rupa untuk membangkitkan sentimen kebencian terhadap kelompok non-muslim. Teknik pecah-belah ini terbukti efektif menyuburkan praktik kekerasan berbasis agama yang dilakukan oknum umat Islam.

Neo-kolonialisme berjubah agama yang mewujud pada gerakan Islam trans-nasional seperti JI, HT, Salafi, maupun ISIS adalah ancaman nyata bagi kedaulatan Indonesia. Indonesia sebagai negara bangsa demokrasi yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 adalah final dan tidak dapat diubah. Segala upaya mengubah dasar negara, apalagi melalui cara kekerasan adalah ancaman serius yang harus diberantas hingga ke akarnya.

Maka, peringatan HUT RI ke-80 adalah momen untuk meneguhkan kembali spirit kedaulatan kita. Kedaulatan dalam hal ini bukan sekedar persoalan teritorial, batas wilayah, sumber daya alam, dan hal fisik lainnya. Kedaulatan juga menyangkut persoalan ideologi dan dasar negara. Indonesia dikatakan berdaulat jika seluruh warganya masih percaya dan setia pada ideologi dan konstitusi negara, yakni Pancasila dan UUD 1945.

Labelisasi Pancasila sebagai ideologi kufur dan UUD 1945 sebagai konstitusi taghut adalah serangan terhadap kedaulatan negara. Tudingan bahwa KUHP adalah hukum sekuler, pengibaran merah putih musyrik, atau kearifan lokal bidah, adalah serangan terhadap kedaulatan bangsa. Meski tidak mengancam secara fisik, namun semua itu patut dikategorikan sebagai ancaman terhadap kedaulatan.

Maka, melawan dan memberangus semua anasir gerakan Islam trans-nasional seperti JI, HT, Salafi, dan ISIS adalah bagian dari perjuangan menegakkan kedaulatan Indonesia. Peringatan HUT RI ke-80 idealnya menjadi momentum bersama untuk melawan neo-kolonialisme berjubah agama. Perang melawan neo-kolonialisme berjubah agama tidak hanya tanggung jawab aparat keamanan dan militer.

Mereka bertugas di sektor hilir dengan penindakan hukum terhadap aktor jaringan radikal-teroris. Masyarakat mengemban tugas di sektor hulu, yakni mencegah penyebaran ideologi radikal-ekstrem dengan mengembangkan corak keberislaman yang moderat. Yakni keberislaman yang nasionalis, setia pada Pancasila dan UUD 1945, serta adaptif pada kearifan lokal.

Facebook Comments