Setiap 8 Maret selalu diperingati sebagai hari perempuan internasional. Di momen kali ini, pentingnya melihat perempuan sebagai salah elemen sentral dalam mempromosikan perdamaian. Mengingat belakangan ini secara global, konflik sosial semakin marak terjadi. Tulisan ini berupaya menilik peran perempuan di Afganistan dalam upaya mempromosikan perdamaian.
Pasca berkuasanya Taliban di Afganistan, konflik semakin marak terjadi sebagai bentuk perlawanan sosial, tak terkecuali dimotori oleh para perempuan. Pada Rabu (8/9/22), terjadi demonstrasi yang dimotori oleh aktivis perempuan Afghanistan, pasca diumumkannya kabinet pemerintahan Taliban yang absen dari representasi kalangan perempuan. Susunan kabinet ini sebagian besar hanya diisi oleh senior jihadis laki-laki Taliban.
Saat demonstrasi berlangsung, Taliban mencambuk para demonstran perempuan yang menyuarakan protes atas pemerintahan baru Afghanistan yang sama sekali alpa dari kaum hawa. Ketika itu para demonstran mengibarkan poster yang bertuliskan “A Cabinet without women is a Loser” dan “A heroic cabinet with the presence of Women” serta poster kritis lainnya.
Peristiwa demonstrasi di atas justru bertentangan dengan pernyataan awal Juru bicara Taliban,Zabihullah Mujahid pasca penguasaannya terhadap ibukota Afghanistan. Dalam jumpa persnya, Taliban berjanji akan menghormati dan melindungi hak perempuan ‘sesuai tuntunan Islam’ dan menginginkan ada perempuan masuk di pemerintahan dan mendorong perempuan kembali bekerja serta anak perempuan bisa untuk kembali ke sekolah, (15/08).
Namun belum sebulan umur pernyataan pers Taliban tersebut, ternyata mereka telah mengingkari komitmen politiknya terkait perlindungan dan hak politik perempuan. Padahal pernyataan awal Jubir Taliban di atas oleh sebagian pengamat disebut sebagai wajah Taliban 2.0. Ciri dari Taliban 2.0 ini katanya lebih adaptif, demokratis dan moderat. Sedangkan Pemerintahan Taliban 1.0 sebelumnya (1996-2001), dikategorikan sebagai pemerintahan konservatif, radikal dan anti-demokratis.
Di tengah situasi krisis politik Afghanistan itu, penulis memang termasuk orang yang skeptis dengan pernyataan pers Taliban. Penulis meragukan komitmen politik mereka, mengingat Taliban beririsan langsung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). Dan sampai detik ini, para pakar perdamaian internasional dan berbagai negara menstigma mereka sebagai salah satu kelompok islamis konservatif yang masih berbahaya.
Apalagi memori kolektif traumatik perempuan Afghanistan sepanjang tahun 1996-2001, saat Taliban memerintah dengan menindas perempuan atas nama ‘pemurnian ajaran agama’ masih sangat melekat kuat. Itulah mengapa warga Afghanistan tidak begitu saja percaya bahwa janji politik melindungi perempuan bakal ditunaikan. Padahal peran perempuan begitu sentral di ruang publik.
Secara historis, Taliban adalah kelompok ekstrem yang memiliki wawasan bias gender. Saat menguasai Afghanistan pada periode pertama, pemerintahan Taliban getol melaksanakan syariat islam yang kaku dan tekstualis. Dalam hal ini, Taliban sangat anti terhadap pengarusutamaan kesetaraan gender dan seringkali mendiskriminasi kaum perempuan. Mereka menjalankan hukuman yang sesuai dengan penafsiran mereka tentang syariah islam, seperti eksekusi di depan umum kepada terdakwa pembunuhan dan pezina serta amputasi bagi mereka yang diputuskan bersalah karena pencurian.
Perempuan juga diwajibkan mengenakan burqa yang menutupi seluruh tubuh dan bagi perempuan yang melanggar aturan tersebut harus siap dirajam hingga meninggal. Taliban juga melarang televisi, musik, dan bioskop, serta tidak memperbolehkan anak perempuan di atas 10 tahun untuk sekolah. Karena itu, Taliban dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan budaya.
Menilik Taliban dalam konteks gender bahwa superioritas laki-laki secara total dalam politik kepemimpinan dan pendidikan dapat menimbulkan sebuah sistem gender yang hierarkis, dan juga mengakibatkan pembentukan diri perempuan yang bergantung pada sistem kekuasaan laki-laki. Sistem gender semacam ini menguntungkan laki-laki, sementara di sisi lain mengakibatkan subordinasi dan alienasi terhadap perempuan, (Etin Anwar, 2017; 54).
Agensi Perempuan untuk Perdamaian
Taliban dalam melihat perempuan melalui kacamata tafsir agama Islam sangatlah konservatif, sehingga begitu nestapanya para perempuan yang terbelenggu di tangan Taliban tersebut. Tak ayal jika banyak di antara perempuan Afghanistan yang terus berupaya mencari suaka ke negara lain.
Padahal perempuan memiliki peran sentral dalam sektor publik, apalagi dalam agensinya sebagai elemen yang mempromosikan perdamaian. Justru kondisi Afganistan akan terus berpotensi konflik, jika peran perempuan diabaikan. Untuk itu, peran perempuan harus dimaksimalkan dengan baik karena fungsi mereka sebagai bagian dari realitas kemanusiaan.
Akhirnya, belajar dari kasus Taliban yang mengabaikan peran perempuan di sektor publik, alih-alih akan mewujudukan perdamaian, justru akan terus berpotensi menimbulkan segregasi sosial. Atas dasar pemahaman yang biasa gender itulah maka ke depan pemahaman yang salah kaprah terhadap peran perempuan harus direduksi bersama. Semoga.