Jihad Perempuan di Era Kekinian; Mencegah Teror dan Kekerasan

Jihad Perempuan di Era Kekinian; Mencegah Teror dan Kekerasan

- in Narasi
401
0
Jihad Perempuan di Era Kekinian; Mencegah Teror dan Kekerasan

Abad ke-21 kerap disebut sebagai zaman kekerasan dan teror. Anggapan itu tentu bukan asumsi yang hiperbolistik. Realitas menunjukkan bahwa di abad ke-21 ini kekerasan dan teror mengalami eskalasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Berbagai aksi kekerasan dan teror yang dilatari motif idoelogi dan politik silih berganti terjadi di banyak belahan dunia.

Ironisnya, fenomena terorisme dan kekerasan juga merambah di ranah domestik. Fenomena “family terrorism” atau “teenger terrorism” yakni terorisme yang melibatkan keluarga (ayah-ibu, dan anak), serta terorisme yang melibatkan kaum remaja menjadi bukti bagaimana sindrom kekerasan dan teror telah sampai wilayah paling terkecil dalam struktur masyarakat.

Di zaman ketika kekerasan dan teror telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia ini, peran keluarga terutama perempuan (ibu) sangat vital. Dalam konteks terorisme dan kekerasan, perempuan bisa menempati tiga posisi. Pertama, posisi perempuan sebagai korban kekerasan dan terorisme. Kedua, posisi perempuan sebagai pelaku kekerasan maupun terorisme. Seperti kita tahu, belakangan ini makin banyak perempuan terlibat jaringan teroris, bahkan menjadi eksekutor lapangan.

Ketiga, posisi perempuan sebagai agen pencegah kekerasan dan teror sekaligus agen penebar perdamaian. Posisi ketiga inilah yang idealnya kita kembangkan saat ini. Sudah bukan zamannya lagi perempuan menjadi korban tindakan kekerasan, apalagi menjadi pelaku aksi teror. Kini saatnya perempuan tampil ke depan sebagai agen anti-kekerasan dana gen perdamaian.

Jihad Perempuan Masa Kini

Di dalam sebuah hadist shahih, Rasulullah pernah bersabda bahwa jihad utama perempuan ialah melaksanakan ibadah haji. Di hadist yang lain diriwayatkan bahwa ketika hendak berangkat berperang, Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan yang berniat ikut maju perang. Rasulullah jutru menyuruh perempuan itu pulang; mengurus dan mendidik anaknya karena itu juga bagian dari jihad.

Hadist Nabi yang melarang perempuan berperang, alih-alih mengasuh dan mendidik anak menyiratkan pesan penting bahwa jihad sesungguhnya bagi perempuan ialah melahirkan generasi berkualitas. Dalam konteks kekinian, generasi yang berkualitas itu tidak hanya dinilai secara fisik saja. Lebih dari itu, generasi yang berkualitas dilihat dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosialnya.

Maka, jihad perempuan kekinian terutama di era abad kekerasan dan teror ini ialah mendidik anak-anak yang berkarakter positif, anti-kekerasan, dan menolak paham ekstremisme-terorisme. Di ranah domestik, peran perempuan (ibu) dalam mencegah kekerasan dan teror kiranya dapat dimanifestasikan ke dalam sejumlah langkah.

Pertama, menanamkan karakter positif pada anak-anak. Karakter positif dalam hal ini ialah sikap anak yang mau menghormati dan menyanyangi sesama makhluk Tuhan terlepas dari identitas dan latar belakangnya. Sikap inklusif harus ditanamkan sejak dini dalam rumah tangga. Semakin anak mengenal perbedaan sedini mungkin, ia akan terbiasa menerima keragaman tanpa sikap curiga dan prasangka.

Kedua, menanamkan rasa cinta tanah air pada anak-anak. Pendidikan nasionalisme bukan semata tanggung jawab negara, melainkan juga tanggung jawab keluarga. Nasionalisme harus ditanamkan kepada anak-anak sedini mungkin. Tujuannya agar mereka memiliki komitmen untuk mencintai dan membela tanah airnya serta setia pada ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

Ketiga, memperkenalkan pola pikir dan praktik keberagamaan yang berkarakter moderat. Ini artinya, anak-anak harus diperkenalkan pada konsep moderasi beragama sejak dini. Dengan begitu, anak-anak akan menjadi umat beragama yang toleran, inklusif, dan pluralis dalam menyikapi perbedaan. Moderasi beragama ini pula yang akan membentengi anak-anak dari paparan ideologi ekstremisme-terorisme.

Perempuan Pencegah Teror dan Kekerasan di Ranah Domestik dan Publik

Di dalam institusi keluarga, perempuan (ibu) memiliki peran yang vital dan singnifikan. Tidak mengherankan apabila ada pepatah Arab yang mengatakan “al ummu madrasatul ula wal abu muriduha”. Artinya, seorang ibu ialah seorang sekolah pertama (bagi anak-anaknya) dan ayah adalah kepala sekolahnya. Pepatah ini kiranya masih relavan diaplikasikan dalam konteks kekinian dimana kekerasan dan teror menjadi ancaman nyata.

Meski demikian, peran perempuan dalam mencegah teror dan kekerasan idealnya tidak hanya dibatasi dalam lingkup domestik alias rumah tangga. Kita perlu mendorong keterlibatan perempuan dalam mencegah teror dan kekerasan di ranah publik atau lingkup yang lebih luas. Peringatan Hari Perempuan Internasional, 9 Maret idealnya bisa membangun kesadaran publik ihwal pentingnya perempuan sebagai agen perdamaian dan anti-kekerasan.

Keterlibatan perempuan dalam mencegah teror dan kekerasan sangatlah penting. Perempuan memiliki semacam sense of parenthood yang sangat berguna dalam aktivitas kepengasuhan dan pendidikan anak. Kemampuan psikologis perempuan untuk berempati secara tulus ialah modal penting untuk melahirkan generasi yang steril dari budaya kekerasan dan sindrom ekstremisme.

Facebook Comments