Baru-baru ini Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Waryono Abdul Ghafur, mengatakan pihaknya melarang pengenaan pakaian ala Arab di lingkungan kampus. Tujuannya, guna mereduksi kebiasaan mengkafirkan antar sesama mahasiswa yang beda budayanya. Waryono mengatakan itu dalam pembukaan kegiatan Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah (LDK) dan Birokrasi Kampus dalam Pencegahan Terorisme di kampus UIN Sunan Kalijaga, bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Yogyakarta, Rabu (11/10/17).
Dalam pandangan keislaman tentu menutup aurat bagian dari kewajiban umat muslim, tetapi islam yang kita kenal di indonesia bukan menganut paham islam otoriter terhadap orang lain, atau cendrung ketimur-timuran, melainkan islam yang mengedepankan nilai toleransi dan pahan keislaman nasionalisme. Inilah yang ditekankan oleh Waryono, mahasiswa sebagai penerus bangsa harus dibekali sifat toleran dan pembekalan bahaya terorisme sejak dini, agar dalam dakwahnya mampu bermuatan pencegahan terorisme.
Pencegahan terorisme dilingkungan kampus bukan hanya menjadi tugas pimpinan atau sevitas akedemika, tetapi gerakan mahasiswa memiliki pengaruh penting dalam merespon segenap isu terorisme yang semakin gencar akhir-akhir ini. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) salah satu organisasi mahasiswa yang berdiri tegak untuk memberantas paham radikal dengan konsep dasar PMII, yang terdiri dari lima sumbu, Islammisme, Nasionalisme, intelektualisme, humanisme, dan terakhir sosialime. Kelima sumbu itu ditopang oleh dua benteng yang kuat, Hablum MinAllah dan Hablum MinaNaas, dengan jalan yang telah ditetapkan oleh para ulama.
PMII dalam memandang paham Radikal dikampus, cukup kembali kepada materi pokoknya tentang PMII dan ke Aswajaan, disitu dijelaskan bagaimana PMII membagun mentalnya berhaluan Aswaja yang cinta akan budaya dan ramah kepada sesama manusia meski berbeda keyakinan. Dengan materi itu pergerakan mahasiswa cukup terarah untuk menolak paham radikal yang mengkafirkan sesama. Tidak cukup dengan mental saja, pergerakan mahasiswa harus disenyalir dengan tindakan yang nyata tanpa embel-embel politik. Yang utama adalah gerakan untuk menyadarkan kembali. Kita rangkul mereka dengan pengajian dan beberapa kegiatan penangkalan. Kita juga bisa membuat forum yang mengundang tokoh-tokoh sentral pemikiran kita, misalnya kita undang kiai Said untuk masuk ke kampus, Gus Mus masuk ke kampus untuk meng-couter itu.
Perang Ideologi
Sebenarnya kampus itu sebagai medan pertempuran yang netral dalam pertarungan ideology, kampus itu mimbar bebas, maka semua ideology juga seharusnya banyak dikaji dan didiskusikan. Dari situ akan menemukan kebenaran paham. Kita juga bisa mentransformasikan nilai ke PMII-an dan keislaman. Hal ini memakan waktu yang cukup panjang, tidak bisa kita capai dalam waktu setahun dua tahun, tetapi fondasinya memang harus dipersiapkan sejak dini. (Agus Herlambang, Ketua Umum PB PMII: 2017)
Isu-isu tentang paham radikalisme sebenarnya bermula di ranah ideologi dan perbedaan pendapat antar mahasiswa, dan itu terus berkembang kerena satu sama lain saling mempertahankan opsinya masing-masing. Pertempuran ideologi semakin panas dan sayangnya ideology yang dipertahankan salah jalan atau tersesat pahamnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Prof, Amin Abdullah. mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam acara Confrensi Perdamaian Agama se-Dunia. Amin menegaskan bahwa mahasiswa yang sudah salah jalan atau tersesat dalam ber-akademik harus segera bertaubat dan kembali kejalan yang benar seperti ke NU atau ke Muhammadiyah (disampaikan di CH-UIN/2017).
Kondisi dan realita di kampus menjadi renungan bersama, menurut hemat penulis, paham radikalisme yang menjalar di sekujur tubuh kampus bukan tanpa sengaja, melainkan sudah tersistem sejak awal perkuliahan dan itu bukan setingan akademik atau propaganda sistem. Baiklah jika memang ada campur tangan atau sumbangan pikiran dari sevitas akademika yang kadang memperbesar nyali kaum radikal sehingga sering terjadi deskriminasi pemikiran. Tapi perlu di ingat bahwa kampus yang menjalankan aturan pemerintah secara totalitas tidak mungkin memiliki inisiatif menyerang pemerintah baik lewat ideology maupun lewat media sosial. Lain halnya dengan dunia kampus, paham radikal seakan menjadi pintu utama dalam meraih ruang yang baru dan lorong sempit dan gelap, itulah Radikalisme.