Problem aneksasi wilayah Palestina oleh Israel telah menjadi semacam konflik abadi di Timur Tengah. Tidak hanya itu, konflik Palestina juga menjadi semacam proksi kepentingan berbagai negara lain. Mulai dari negara-nagara Barat, seperti Amerika Serikat dan negara Eropa, sampai negara-negara anti-Barat seperti Iran, Rusia, China, Korea Utara, Yaman, Lebanon, dan sebagainya.
Dengan kata lain, konflik Israel dan Palestina itu kompleks dan melibatkan banyak kepentingan. Misalnya saja, hari-hari belakangan ini, Iran dan Israel saling berbalas serangan roket. Kedua negara ini awalnya tidak berkonflik, sampai Iran menunjukkan keterlibatannya secara langsung dalam konflik di Palestina.
Sayangnya, oleh kalangan radikal, konflik Palestina ini kerap disimplifikasi ke dalam narasi konflik agama. Konflik di Palestina kerap dipersepsikan sebagai konflik antara Islam dan Yahudi. Simplifikasi itu bertujuan untuk membangkitkan sentimen kebencian terhadap agama lain di kalangan umat Islam.
Seperti kita lihat di media sosial belakangan ini. Sejumlah akun yang terafiliasi dengan gerakan radikal ekstrem mengglorifikasi serangan Iran ke Tel Aviv sebagai bentuk jihad di sabilillah. Padahal, akun yang sama juga pernah mencerca golongan Islam Syiah Iran sebagai kelompok sesat dan kafir. Dalam konteks ini, kaum radikal menunjukkan inkonsistensinya. Di satu sisi, mereka kerap mengkafirkan kaum Syiah. Namun, di sisi lain mereka euforia ketika negara Syiah itu menyerang Israel.
Di titik ini kita bisa menyimpulkan bahwa kaum radikal ekstrem hanya ingin mengeksploitasi isu Palestina demi mempropagandakan ideologi mereka. Yakni ideologi khilafah Islamiyyah. Ideologi yang diklaim akan menyelesaikan semua problem umat Islam. Termasuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel.
Dalam leksikon ilmu sosial, apa yang disajikan oleh kaum radikal ini diistilahkan sebagai perilaku yang pragmatis. Dalam artian hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan pribadi atau golongan. Mereka tidak pernah benar-benar memperjuangkan kepentingan bangsa Palestina, melainkan hanya memperjuangkan ideologi politik mereka sendiri. Meraka tidak peduli pada nasib bangsa Palestina, kecuali hanya fokus pada agenda mendirikan kekhalifahan Islam.
Dalam kasus Palestina, kaum radikal tidak pernah menunjukkan keberpihakan yang nyata. Misalnya, ketika ISIS berjaya, mereka sama sekali tidak pernah menunjukkan perlawanan terhadap Israel. Mereka justru sibuk membantai umat Islam yang tidak sejalan dengan prinsip ideologis mereka. Namun, di media sosial mereka selalu menciptakan diri sebagai kelompok yang paling di depan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Perilaku yang demikian itu membuktikan bahwa kelompok radikal hanya mengeksploitasi konflik Palestina untuk kepentingan mereka.
Disinilah pentingnya kita mengedukasi umat Islam agar tidak mudah terpincut dengan propaganda radikalisme yang membonceng isu global. Terutama isu Palestina. Umat Islam tidak boleh terpukau dengan euforia kekerasan dan perang yang belakangan ini mencuat pasca Iran menyerang Israel. Bagaimana pun juga, perang bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel.
Umat Islam juga wajib memahami isu-isu global, termasuk konflik Palestina dan Israel secara kritis dan konstruktif. Umat Islam wajib memahami kompleksitas peta konflik di Palestina yang melibatkan kepentingan negara-negara Timur Tengah bahkan global. Dengan begitu, kita tidak akan mudah diadu-domba dan diprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan apalagi teror menyasar kalangan minoritas.
Umat Islambm harus kritis melihat apa yang terjadi di Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah dikenal sebagai kawasan yang kaya sumber daya alam. Terutama minyak bumi dan gas. Komoditas yang harganya jauh lebih mahal ketimbang emas. Minyak bumi dan gas adalah sumber utama energi yang menggerakkan roda industri di negara-negara maju. Wajar jika banyak kepentingan yang bermain di Timur Tengah.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Timur Tengah menjadi arena perang proksi negara-negata super power seperti Amerika, Rusia dan pemain baru, yakni China. Revolusi politik Suriah yang berlangsung selama satu dekade dan melibatkan banyak kekuatan militer negara lain mulai dari Amerika, Rusia, dan China adalah bukti bagaimana perang proksi itu dijalankan.
Revolusi politik Suriah juga menjadi panggung besar bagi comeback-nya gerakan radikal ekstrem pasca kebangkrutan Al Qaeda pasca kematian Osama bin Laden. Sekarang, pola yang sama sedang dimainkan oleh kelompok radikal pasca kebangkitan ISIS. Mereka ingin membonceng isu Palestina sebagai ajang comeback setelah kekalahan beruntun ISIS di Suriah dan Irak.
Manuver ini harus diwaspadai bersama. Indonesia memang jauh dari Timur Tengah. Namun, sudah sejak lama kaum radikal mengincar Indonesia sebagai basis gerakan ekstremisme global. Kita harus mempertahankan karakter Islam Indonesia yang toleran dan moderat. Jangan sampai, Indonesia menjadi basis gerakan radikal ekstrem global yang akan mengahancurkan bangsa dari dalam.