Perempuan sebagai Korban Narasi Radikalisasi Online

Perempuan sebagai Korban Narasi Radikalisasi Online

- in Narasi
29
0
Mengapa Perempuan dan Anak Muda Rentan Terpapar Paham Radikal?

Dalam mengkaji gerakan radikal terorisme, perempuan adalah subjek yang tidak dapat diabaikan. Berbagai penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian literatur menunjukkan adanya peran maupun keterlibatan aktif perempuan dalam gerakan radikal terorisme. Mia Bloom dalam bukunya Bombshell: Women and Terrorism (2011) menunjukkan berbagai contoh perempuan yang melakukan operasi terorisme di berbagai negara, di antaranya adalah Mariam Sharipova dan Djennet Abdurakhmenova yang melancarkan serangan bom bunuh diri di subway di Kota Moskow pada 2010. Dua serangan itu dilaporkan menewaskan 40 orang dan melukai 160 lainnya.

Di Indonesia, jumlah perempuan yang terlibat dalam gerakan radikal juga cukup banyak, bahkan paling mendapat perhatian di antara negara-negara di Asia Tenggara. Peneliti senior Yayasan Rumah KitaB, Lies Marcoes (presentasi, 2020) menyampaikan bahwa peran perempuan selalu ada dalam setiap organisasi radikal di Indonesia, mulai dari Jamaah Islamiyah sampai FPI.

Dalam lima tahun terakhir, ada Dian Yulia Novi, perempuan asal Cirebon yang berusaha melakukan aksi bom bunuh diri di Istana Presiden Jakarta pada akhir 2016. Setelah Dian, kurang dari dua tahun setelahnya (Mei 2018), polisi menangkap dua perempuan muda Siska Milenia dan Dita Siska yang berusaha membantu pejuang ISIS yang sedang bentrok dengan petugas keamanan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok. Dua perempuan muda itu dilaporkan teradikalisasi melalui media komunikasi Telegram.

Pada 13 Mei 2018 muncul nama Puji Kuswati, seorang ibu yang mengajak dua anak perempuannya melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Surabaya. ISIS pusat (Suriah) mengklaim bertanggung jawab atas aksi tersebut. Setelah aksi Puji, terjadi peledakan bom di pintu masuk kantor Polrestabes Surabaya yang melibatkan perempuan bernama Tri Ernawati dan ledakan di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo yang dilakukan oleh Puspitasari. Selain menewaskan kedua pelaku, aksi tersebut juga menewaskan anak-anak pelaku.

Beberapa kasus di atas mengindikasikan dua hal; pertama bahwa perempuan adalah sasaran empuk bagi radikalisasi baik melalui online maupun offline; kedua, perempuan mengalami pergeseran peran dari yang awalnya hanya bersifat pasif sebagai pengepul dana dan mendukung suami sebagai kombatan dari balik layar, menjadi pelaku aktif aksi teror. Zakiah Aini dan Dian Yulia Novi menjadi contoh yang tepat dari pergeseran ini.

Mia Bloom (2011) dalam penelitiannya mengatakan, perempuan terlibat sebagai pelaku radikal terorisme atas faktor 4Rs + 1: Revenge, Redemption, Relationship, Respect, dan Rape. Faktor-faktor tersebut menjadi menjadi sangat efektif ketike bertemu dengan kampanye “jihad dan khilafah” di media sosial.

Setiap faktor tersebut dimanfaatkan oleh kelompok radikal dalam ruang digital, menggunakan teknologi dan media sosial untuk mengidentifikasi, menargetkan, serta meradikalisasi perempuan.

Radikalisasi online mempercepat proses eksploitasi emosi balas dendam, khususnya pada perempuan yang kehilangan anggota keluarga akibat konflik atau kekerasan. Media sosial menyediakan akses mudah ke narasi dan konten yang menggugah amarah dan kebencian. Misalnya, video tentang penindasan, penderitaan umat Muslim di negara konflik.

Melalui ruang online, perasaan balas dendam dapat diradikalisasi lebih cepat karena perempuan terus-menerus terpapar propaganda visual dan emosional yang disesuaikan dengan pengalaman pribadi mereka. Algoritma media sosial memperparah situasi ini dengan menunjukkan lebih banyak konten serupa, memperkuat emosi negatif yang kemudian memicu aksi radikal.

Al-Qaeda misalnya secara cerdas menggunakan teknik komunikasi digital berbasis artifical intelligent untuk merekrut perempuan, menawarkan mereka kesempatan untuk “membalas dendam” atas penderitaan yang orang lain alami, sebagai bagian dari satu identitas yang sama.

Selanjutnya, tidak sedikit perempuan yang merasa bahwa keterlibatan mereka dalam terorisme bisa memberikan makna hidup yang hilang, terutama dalam konteks pencarian penebusan atau pembersihan dari kesalahan masa lalu. Radikalisasi online mempermainkan rasa bersalah atau kurangnya makna hidup yang mungkin dirasakan oleh perempuan.

Kelompok radikal sering menyebarkan pesan bahwa bergabung dengan jihad atau aksi ekstremis adalah jalan untuk memperoleh penebusan spiritual dan moral, yang memberikan penghiburan bagi mereka yang merasa gagal atau berdosa dalam kehidupan mereka sebelumnya.

Di ruang online, narasi ini diglorifikasi dengan cerita-cerita “sukses” dari perempuan yang sudah bergabung dalam kelompok radikal, yang kemudian dianggap mendapatkan “pengampunan” atau mencapai kebahagiaan di akhirat. Konten ini menyasar perempuan yang merasa kehilangan arah hidup atau yang mencari tujuan yang lebih tinggi, sehingga mereka terperangkap dalam ilusi bahwa hanya dengan terlibat dalam aksi teror mereka bisa menebus diri.

Faktor ini sangat kuat dalam konteks radikalisasi online, karena platform digital memfasilitasi komunikasi intim antara perempuan dengan anggota kelompok radikal. Hubungan emosional atau romantis sering kali menjadi pintu masuk utama bagi perempuan untuk terlibat dalam aksi terorisme. Di media sosial, perempuan dapat dengan mudah terhubung dengan individu atau komunitas radikal yang menawarkan perhatian dan validasi emosional, yang mungkin kurang mereka dapatkan di dunia nyata.

Media sosial juga memungkinkan perempuan membangun hubungan yang sangat personal dengan ideologi radikal tanpa harus bertemu secara fisik. Kelompok ekstremis menggunakan taktik manipulasi psikologis dengan memanfaatkan kerentanan perempuan dalam hubungan, baik sebagai alat persuasi maupun tekanan.

Ruang online juga menyediakan wadah yang dapat mengkomodir keresahan perempuan yang merasa kurang dihargai atau dipandang rendah dalam masyarakat patriarkal. Kelompok teroris secara sistematis mempromosikan narasi bahwa perempuan bisa memperoleh penghormatan, martabat, dan status sosial yang lebih tinggi melalui keterlibatan dalam gerakan radikal. Mereka menawarkan peran yang tampaknya penting dalam jihad, di mana perempuan dianggap sebagai “pejuang” atau “martir” yang mendapatkan penghormatan baik di dunia maupun di akhirat.

Rape (pemerkosaan) terjadi pada perempuan korban pemerkosaan. Kasus-kasus ini terjadi di daerah konflik seperti Irak dan Chechnya di mana banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan. Mereka mudah direkrut karena sedang membutuhkan solusi untuk melepaskan atau membebaskan diri dari pengalaman buruk pemerkosaan.

Di internet, kelompok radikal menciptakan ruang di mana perempuan yang mengalami trauma seksual dapat merasa dipahami dan didukung, namun pada akhirnya mereka dimanipulasi untuk mengambil tindakan ekstremis.

Media sosial menyediakan platform bagi kelompok teroris untuk memanfaatkan rasa tidak aman dan trauma psikologis, dengan menawarkan narasi bahwa aksi teror adalah bentuk pembalasan yang sah dan cara untuk memulihkan kehormatan.

Dalam konteks radikalisasi online, lima faktor 4Rs + 1 ini menunjukkan bagaimana kerentanan perempuan dimanipulasi secara sistematis oleh kelompok radikal. Yang membuat proses ini semakin efektif adalah sifat ruang digital yang memungkinkan individu untuk lebih mudah diisolasi secara ideologis dan psikologis.

Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman ini, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memahami bagaimana platform digital digunakan dalam proses radikalisasi dan mengembangkan strategi yang efektif untuk melindungi perempuan dari eksploitasinya.

Facebook Comments