Dahulu pemilu cenderung hanya dianggap sebagai rangkaian seremonial lima tahunan yang berfungsi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan semata. Memasuki era reformasi, pemilu dilihat sebagai mekanisme partisipasi warga negara, kebebasan bersuara, dan mengoptimalkan demokrasi. Di era digitalisasi informasi, pemilu berubah menjadi lahan produksi sentimen dan sarana untuk meruncingkan tensi identitas.
Ada dua potensi titik ekstrem yang tak dikehendaki dalam menyongsong Pemilihan Presiden 2024, yakni intensifnya kadar fanatisme pemilih di satu sisi, dan tingginya tingkat apatisme pemilik hak suara. Titik kedua mungkin sudah tidak sebegitu meresahkan berkat masifnya edukasi-edukasi politik yang khusus menyasar generasi muda.
Kekhawatiran atas munculnya dua fenomena sosial itu berulang kali dilontarkan berbagai kalangan yang berkepentingan dengan berlangsungnya pemilihan presiden yang demokratis, dengan hasil yang absah sehingga diterima oleh kontestan yang berkompetisi. Khususnya untuk ekstrem yang pertama, fanatisme pemilih antara lain diperlihatkan oleh semakin kerasnya perang verbal di dunia maya yang melibatkan pendukung-pendukung fanatik masing-masing kubu politik.
Fanatisme antar kubu politik yang terwujud dalam pandangan dan ungkapan-ungkapan yang mencerminkan fanatisme agama, kebencian antar golongan, dan rasisme, kian kerap kita lihat dan kita dengar berlalu lalang di ruang publik, khususnya di media sosial di ambang Pemilu 2024. Orang-orang ini mendasarkan sikapnya pada loyalitas yang berlebihan pada ideologinya, dan semangat kemarahan terhadap mereka yang dianggap lawan.
Karena saling merawat amarah, maka kedua kubu sering kali menjadi irasional; fanatisme dibalas dengan fanatisme, rasisme dibalas dengan rasisme. Akibatnya, kedua kubu terjebak dalam lingkaran setan, dan saling menyalahkan lawan sebagai pihak yang memulai pertikaian.
Jika fanatisme itu murni bermuatan anasir politis ideologis, persoalannya relatif akan lebih mudah diurai dan ditangani. Namun, ketika fanatisme itu berkelindan dengan aspek keimanan, identitas keagamaan pemilih, problemnya semakin kusut dan semakin sulit untuk mengatasinya. Setidaknya, bukan saja pendekatan politik yang dibutuhkan tapi juga pendekatan kultural-keagamaan diperlukan untuk mengatasinya. Problem ini serius karena pada dasarnya fanatisme adalah hulu dari sikap-sikap ekstremisme.
Politik identitas merupakan instrumen yang turut menyumbang pada kondisi fanatisme dan polarisasi terhadap isu-isu keagamaan di Indonesia. Islam misalnya. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, Islam dipandang tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai komunitas (umat) yang mempunyai pemahaman, kepentingan, dan tujuan tujuan politik sendiri. Sebagai kolektivitas, Islam juga merupakan kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama.
Keterlibatan dalam pemilu bisa juga dilihat sebagai upaya aktualisasi jiwa nasionalisme warga negara. Rasa ingin turut membangun Indonesia ini pada satu sisi sangat positif bagi keberlangsungan politik Indonesia. Tetapi pada sisi lain, “keinginan” tersebut akan menjadi racun bagi nasionalisme itu sendiri jika dibalut dengan fanatisme.
Pada dasarnya, fanatisme terhadap agama, ras, bahkan kubu politik rentan memunculkan sikap fasis, yaitu semangat untuk menggunggulkan kelompoknya dan mengecilkan kelompok lain. Dalam konteks bernegara dan berbangsa, gairah ini memunculkan misalnya kelas Muslim dan non-Muslim, pribumi dan non-pribumi, asli dan pendatang, dan sejumlah pengklasifikasian berbasis primordial lainnya. Cara pandang seperti ini memperoleh momentum untuk berkembang dan mengalami penajaman saat ditanam dalam lanskap persaingan politik, terutama ketika menjelang dan selama musim kontestasi kekuasaan seperti pilpres.
Celakanya, fanatisme yang berujung penajaman identitas primordial ini bisa ditunggangi oleh kelompok radikal terorisme. Situasi perpecahan akibat gesekan identitas adalah lahan subur benih-benih intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.
Fanatisme adalah, dan akan selalu menjadi, racun bagi gagasan besar demokrasi bangsa. Fanatisme selalu menghalangi pikiran-pikiran kritis yang mungkin konstruktif dan membutakan masyarakat dari perspektif-perspektif baru. Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat majemuk penting untuk menyadari bahwa tidak ada pihak yang benar-benar sempurna.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun dari dialektika berbagai ide dan gagasan-gagasan kritis dari para founding father. Andai saja para pendiri bangsa itu fanatik dengan pikirannya dan menutup diri dari perspektif dunia luar, gagasan NKRI ini tampaknya tidak akan teraktualisasi. Karena itu, menjadi warga negara yang inklusif adalah salah satu bentuk penghargaan terhadap upaya pendiri bangsa merancang Indonesia. Menjadi fanatis hanyalah mengafirmasi kebodohan, sedangkan kebodohan adalah musuh besar negara Indonesia.