Pers, Harapan Pembersih Sampah Informasi di Dunia Maya

Pers, Harapan Pembersih Sampah Informasi di Dunia Maya

- in Narasi
945
0
Pers, Harapan Pembersih Sampah Informasi di Dunia Maya

Politik, tema yang tidak akan pernah ada habisnya menjadi perbincangan di dunia maya. Narasi bernuansa politik tercecer di pelbagai platform media sosial (medsos). Narasi tersebut tidak hanya diproduksi oleh media arus utama, tetapi juga diproduksi oleh simpatisan yang sangat militan. Mereka memproduksi dan menyebarkan informasi yang mampu menuruti syahwat ego mereka, pun ketika berita yang didapat tersebut termasuk berita bohong (hoaks). Dampaknya, informasi yang berterbaran di tahun politik ini lebih cenderung mengganggu ketimbang memberikan asupan informasi. Ironisnya, justru beberapa oknum politisi busuk memanfaatkan kekacauan tersebut untuk mendulang suara.

Publik memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi informasi yang ingin mereka dengar, bukan informasi yang sejatinya harus mereka dengar. Kesadaran mengonsumsi sampah informasi demi melegitimasi apa yang mereka katakan dan menyalahkan pihak yang bersebrangan tentu bisa dikatakan seebagai sebuah kecacatan berpikir. Kedunguan ini sangatlah berbahaya, karena ego yang terus diberi makan oleh berita bohong hanya akan menimbulkan kebohongan-kebohongan berikutnya di waktu yang akan datang. Jika sikap seperti ini tumbuh subur di negeri ini secara masif, maka tinggal menunggu saja pragmatisme politik yang penuh formalitas dan kebohongan. Kemudian, praktik politik yang demikian hanya akan turut menghasilkan pemimpin sampah yang nihil gagasan dan tidak mampu bekerja.

Belantara Informasi

Alvin Toffler, seorang Penulis dan Futurolog mengatakan bahwa siapa orang yang menguasai informasi, maka akan menguasai dunia. Apabila teori diimplementasikan oleh orang baik, maka akan dunia akan menjadi baik-baik saja. Akan tetapi apabila teori tesebut diimplementasikan oleh orang jahat yang memiliki kecerdasan dan kekuatan, maka akan sangat berbahaya. Toffler tidak menjelaskan informasi macam apa yang bisa membawa dunia ke dalam genggaman seseorang, bisa jadi yang dimaksud salah satunya ialah informasi palsu seperti yang sekarang ini menjamur. Orang yang memiliki sumber daya dan teknologi canggih dapat mengontrol arah informasi sesuka hati mereka. Tidak heran penggiringan opini publik sangat mudah dilakukan hanya melalui medsos menggunakan bom sampah informasi dan gempuran bala tentara siber (cyber army).

Baca juga :Pers Sehat, Negara Kuat dan Indonesia Jauh dari Hoaks

Teknologi yang kini bukan menjadi barang mewah memang memberikan kesetaraan dalam hal akses informasi. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak dibarengi dengan kearifan dan kematangan berpikir dalam menyikapi jutaan berita yang tersebar di dunia maya, maka manusia hanya akan tersesat dalam belantara informasi yang membingungkan. Tumpah ruahnya informasi di dunia maya membuat siapa saja bingung karena informasi yang validitasnya teruji dengan yang tidak sama-sama terhampar di depan mata. Masing-masing orang datang dengan perspektif pribadinya dan mengklaim bahwa merekalah pembawa informasi yang paling unggul.

Medsos memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi pembuat berita. Sayangnya, sebelum ditayangkan kepada dunia beritanya tidak melalui proses pengeditan sehingga yang tampil berita apa adanya, yaitu sesuai dengan isi kepala penulis. Hal yang demikian tentu tidak begitu mengkhawatirkan apabila penulis berkompeten di bidang yang ditulis, akan tetapi akan menjadi musibah apabila penulis tidak berkompeten di bidang yang ditulis tersebut.

Berita bohong memang efektif, terutama untuk beberapa waktu yang lalu. Namun berpolitik dengan bahan bakar berita bohong di era ini agaknya oknum politisi harus sedikit bekerja keras. Pasalnya, publik sudah mulai sadar dan tidak langsung memercayai berita bohong yang biasanya berjudul bombastis (click bait). Meskipun demikian, orang yang mengambil keuntungan dengan tersebarnya berita bohong tidak kehabisan akal untuk terus menabur sampah informasi. Data yang selalu menjadi primadona untuk menghalau berita bohong kini justru dimainkan oleh produsen berita bohong.

Data obyektif yang ada dicuplik, dipotong, atau bahkan dipelintir dan dipaksakan sedemikian rupa untuk mendukung keperluan pembuatnya, sehingga berita bohong yang disebarkan tampak nyata. Hasil “masturbasi data” tersebut kemudian disajikan dalam infografis yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam. Berita yang mulanya “sampah” kemudian kebenarannya seakan terlegitimasi karena turut diviralkan oleh banyak orang. Memercayai data tanpa mengklarifikasi kontekstualitasnya sama saja dengan menginginkan makan kue akan tetapi menelan tepungnya mentah-mentah.

Tsunami sampah informasi memang meluluhlantakkan kewarasan dan merenggut kedamaian yang selama ini tercipta. Perlu ada dewa penyelamat yang notabenya didengar oleh banyak pihak, dan pers ialah salah satunya. Media arus utama yang memiliki segmen pembaca dana tau pemirsa tentu patut menjadi rujukan yang mencerdaskan, setelah sekian lama publik dibodohi dengan beredarnya berita bohong di media sosial. Sudah saatnya pers turun tangan untuk mengambil langkah mulia tersebut.

Sama seperti halnya tubuh, jika ingin sehat maka harus mengonsumsi makanan yang sehat pula. Bacaan pun demikian, jika ingin mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat dan sehat maka bacaan yang dibaca ialah informasi yang valid, bukan sampah informasi. Jika oknum politisi mempolitisi informasi, maka publik hanya perlu menggunakan akal sehat dan nuraninya untuk mengetahui kebenarannya. Singkatnya, dalam akal yang sehat terdapat bacaan yang kuat (teruji).

Facebook Comments