Sejarah penyembelihan kurban (korban) yang pertama dilakukan oleh Ibrahim terhadap anaknya, Ismail. Ketokohan Ibrahim dan Ismail dalam kisah ini menegaskan setidaknya lima ajaran keteladanan abadi. Yaitu emosi, hakikat kurban, kewajiban penerima, kesabaran, dan ketakwaan.
Pergulatan emosi yang dialami Ibrahim dan ismail menegaskan bahwa kemanusiaan tetap ada pada diri mereka. Kepemilikan perasaan semisal cemas, takut, ragu, senang, cinta, dan sebagainya menjadi ciri khas psikologi manusia yang dituntut untuk mampu dikendalikan. Pergulatan emosi tersebut yang akan memaknai hasil sebuah proses lebih dari sekedar produk. Pengalaman terhadap proses yang melibatkan emosi juga diyakini memberi kesan lebih dalam dan mampu membangun karakter pribadi seseorang.
Allah sebagai entitas yang diyakini Ibrahim sebagai pencipta kala itu tidak meminta Ibrahim mendermakan seluruh harta dan dirinya atau meminta Ismail untuk melakukan bunuh diri. Karena semua itu dapat dengan mudah dilaksanakan tanpa keraguan. Allah bermain politik dengan meminta Ibrahim menyembelih Ismail sebagai bukti kesetiaan dan menguji keimanan Ismail. Sejatinya hal itu untuk membangkitkan emosi dan melihat seberapa cakapnya manusia pilihan mampu mengolah dan mengambil prioritas keputusan sehingga meninggalkan pesan keteladanan yang lebih dalam untuk manusia sesudahnya. Juga untuk memahamkan tentang hakikat kurban yakni merelakan yang disayanginya.
Kurban bukan sekedar tentang melakukan dan memberi namun lebih dari itu. Apa yang dilakukan dan diberi diharapkan mampu membangun nilai dan mempengaruhi olah pikir, olah rasa, olah hati yang terwujud dalam olah raga manusia. “Daging (hewan kurban) dan darahnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai padanya adalah ketakwaan kamu (Q.S. Al Hajj, 22 : 37). Pergulatan emosi saat berkurban diharapkan mampu membangun ketakwaan sebagai hasil akhir. Karena sejatinya ketakwaan bukan sesuatu yang didapat dengan instan melainkan hasil proses yang telah melewati ketiga tahap bentuk olahan dan akhirnya diwujudkan dalam olah raga yakni laku dan tindakan.
Proses kebaktian tersebut juga berlaku bagi penerimannya Penerima memiliki kewajiban yaitu bersyukur yang diwujudkan dengan memanfaatkan apa yang diterimannya sebaik mungkin. Sebab, semua yang kita terima selalui disertai syarat dan kewajiban di dalamnya. Sehingga Haram hukumnya jika di pergunakan tidak sesuai dengan harapan pemberi yang dalam bahasa agama bernama dosa. Disinilah sisi pembelajaran terhadap kesabaran berlaku.
Penerima diajarkan untuk bersabar dengan memanfaatkan apa yang di perolehnya sesuai harapan pemberi dan pemberi diuji kesabarannya dengan mengikhlaskan apa yang di sayanginya. Sejatinya ujian bernama kesabaran inilah yang sering diabaikan terutama di era modern ini. Kehidupan pragmatis yang serba instan menghilangkan proses panjang bernama sabar yang akhirnya melahirkan kebencian yang terus menguat seiring turunnya elektabilitas kesabaran.
Konotasi sabar memiliki kekuatan positif karena sabar bukan hanya sekedar menerima dan menunggu. Sabar berarti mengihtiarkan dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan pencipta alam. Demikian halnya sikap sabar yang diteladankan Ibrahim dan Ismail dalam menghadapi ujian sehingga menerima balasan lebih berharga yaitu ketakwaan. Balasan tersebut nilainya berkali-kali lipat lebih berharga daripada kurban itu sendiri. Bahkan kegembiraan itu menjadi sempurna tak kala pengorbanan Ismail ditebus oleh Allah dengan seekor sembelihan yang besar (QS As Saffat, 37:107)
Masifnya kurban yang dimaknai dengan menyembelih dan membagikan daging sejatinya telah membonsaikan kurban yang sarat akan teladan dan dimensi kehidupan menjadi material dalam ritus peribadatan semata. Kurban seolah telah menjelma menjadi ritual wajib yang miskin emosi di dalamnya. Sehingga perasaan simpati dan empati yang diharapkan dari prosesi kurban belum mampu menyentuh level akhir yaitu olah raga baik dari sisi pemberi maupun penerima. Kurban masih berhenti pada ruang olah pikir, dan sedikit kearah olah rasa dan olah hati. Sehingga ketakwaan yang termanifestasi dalam kehidupan belum mampu diteladani secara penuh meski setiap kali sholat Idul Adha kisah Ismail dan Ibrahim ini terus diulang dan diulas dengan berbagai perspektif oleh para khotib.
Sejatinya ketakwaan yang diteladankan Ibrahim dan Ismail di ejawantahkan secara real dalam dua bentuk yaitu dirinya dan kehidupan sosialnya. Yang di dalamnya terkandung dua objek yang dikenai perlakuan yaitu dirinya dan orang lain diluar dirinya. karakter dirinya membentuk hubungan pribadinya dengan Tuhannya, dimana sikap tunduk dan patuh diwujudkan dalam prosesi peribadatan. Sementara perlakuan terhadap orang lain menuntut adanya kepekaan, kelembutan dan kebijakan dalam berlaku. Sehingga kesalehan pribadi dan kesalehan sosial dapat seiring berjalan. Allah memberi contoh pengorbanan ekstrim agar menjadi cerminan apa yang dilakukan tidak sekedar hanya ritual penyembelihan dan membagikan namun juga merupakan pergulatan emosi yang akan membawa seseorang pada tingkat kesalehan akhlak dan ketauhidan sosial.