Pesan Luhur Al Qur’an Dalam Tubuh Pancasila

Pesan Luhur Al Qur’an Dalam Tubuh Pancasila

- in Narasi
1782
0

Pancasila merupakan warisan yang tiada duanya bagi bangsa Indonesia. berdasarkan penelusuran sejarah, Pancasila tidaklah lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan melalui proses yang panjang dan sangat pelik. Dengan didasari oleh perjuangan bangsa dan dengan melihat pengalaman bangsa lain di dunia. Lahirnya Pancasila diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, namun tetap berakar pada kepribadian dan gagasan besar bangsa Indonesia sendiri.

Proses sejarah konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian perjalanan yang panjang, setidaknyaa dimulai sejak awal 1900-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Proses ini ditandai oleh kemunculan berbagai organisasi pergerakan kebangkitan (Budi Utomo, SI, Muhammadiyah, NU, Perhimpunan Indonesia, Jamiatul Khair dan lain-lain), partai politik (Indistche Partij, PNI, Partai-partai sosialis, PSSI, dan lain-lain), dan sumpah pemuda. Perumusan konseptualisasi Pancasila dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei – Juni 1945. (Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI periode 2014-2019 : 2017)

dalam sidang BPUPKI banyak pandangan-pandangan yang muncul mengenai dasar negara yang akan digunakan. Salah satunya adalah kelompok yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. perdebatan mengenai dasar negara terjadi sangat panjang dalam sidang BPUPKI. Kaum Nasionalis menolak menggunakan Islam sebagai dasar negara sengakan kalangan Islam selalu gigih dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Kegigihan tersebut berangkat dari kekhawatiran bahwa negara ini akan menjadi sekuler apabila hanya berlandaskan Pancasila.

Bahtiar Effendy dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia : 1998” menyebutkan, Tidak satupun tokoh menafsirkan peran penting Islam dalam membangun kesadaran nasional dan membentuk negara Indonesia merdeka. Jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan tokoh-tokoh dari golongan kebangsaan sangat menyadari akan arti penting Islam dalam membangun kesadaran nasional. Islam dalam persepsi kalangan nasionalis dapat menjadi landasan moral dan etis bagi pergerakan kebangsaan. Meminjam bahasa Ir. Sukarno, yang penting adalah bagaimana agar “api” atau “semangat” Islam tetap berkobar. Walaupun negaanya sekuler, bila api dan semangat Islam tetap berkobar niscaya Islam pula negara itu. Namun, merujuk kemerosotan dunia Islam, kalangan kebangsaan menolak penyatuan Islam dan Negara. Meletakkan Islam sebagai spirit atau landasan moral itulah kemudian hari dikenal dengan aliran substansialis.

Dalam proses perumusan dasar negara, Ir. Sukarno memainkan peran yang sangat penting. Dia berhasil mensintesiskan berbagai pandangan yang telah muncul dan orang pertama yang mengkonseptualisasikan dasar negara ke dalam pengertian “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau pandangan “komprehensif dunia” (weltanschauung) secara sistematik dan koheren. Melalui pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno menawarkan lima prinsip dari dasar negara yna diberi nama Panca Sila.

Pancasila dan Al Qur’an

Pesan luhur para pendiri bangsa ini tentang agama dan negara didalam pancasila belum sepenuhnya dijiwai oleh generasi bangsa ini. Berkembangnya zaman bukan memperkuat Ideologi negara malah justru merong-rong Ideologi negara yang sduah menjadi kesepakatan bersama. Keselarasan Pancasila dan agama sangatlah terasa, di dalam tubuh Pancasila disetiap sila-silanya terkandung makna yang telah dan ada di dalam Al qur’an.

Pancasila sebagai dasar negra dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan sebuah perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa. Sebagai salah satu agama mayoritas di Indonesia kita menganut agama Islam, kita memiliki dualisme identitas dalam menjalankan kehidupan di Indonesia yakni sebagai seorang Muslim kita wajib mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an sedangkan kita sebagai rakyat Indonesia kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam tubuh Pancasila.

Isi dari kelima sila dalam tubuh pancasila sejatinya merupakan cerminan dari ayat-ayat yang ada dalam Al Qur’an. Namun dalam perkembangannya tidak sedikit yang membenturkan Pancasila dengan Al Qur’an, seolah keduanya bersebrangan. Padahal isi pancasila ada dalam Al Qur’an. Hadirnya ayat-ayat legitimasi tidak selalu untuk menguji keislaman Pancasila namun hadirnya ayat tersebut merupakan penguat dari Pancasila. Al Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam harus diaktualkan dengan nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.

Ahmad Mutaqqin, alumnus pondok pesantren Al Junaidiyyah Bone dalam tulisannhya di nu.or.id menyatakan, Kelima kata kunci dari masing-masing sila pancasila tersebut merupakan konteks dan tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia. Inilah yang dimaksud mendialogkan teks (Al Qur’an) dan konteks bangsa Indonesia. bukaan menundukkan Al Qur’an di bawah bayang-bayang Pancasila namun Al Qur’an tetap menjadi sumber utama sedangkan niai Pancasila sebagai wadah mengaktualkan nilai-nilai Al Qur’an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ahmad Muttaqin menambahkan, salah satu contoh penafsiran berparadigma Pancasila yaitu di dalam Al Qur’an surat Ali Imran : 64 yang artinya “Katakanlah, Hai Ahli kitab, marilah (berpegang) kepada kalimatun sawa…”. Jika merujuk kepada leksikon bahasa Arab, kata “Sawa’un” bisa berarti memperbaiki (hasuna), mendamaikan (aslaha) dan merukunkan (waffaqa).

Kalimatun sawa dalam konteks Indonesia harus dipahami dengan paradigma Pancasila. Bagaimana Kalimatun Sawa adalah bersama-sama menjunjung tinggi nilai ketuhanan dengan mengakui bahwa semua pemeluk agama, walaupun dengan baju agama yang berbeda memiliki visi yang sama yaitu ketuhanan, bersama-sama memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, menjaga persatuan NKRI, memperjuangkan kesejahteraan rakyat baik sosial maupun ekonomi dan bersama-sama memperbaiki kualitas pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan lain sebagainya, sebagai ruang untuk melaksanakan nilai keadilan dalam konteks keindonesiaan.

Facebook Comments