Gegap gempita menyambut perayaan kemerdekaan yang pada tahun ini genap berusia 72 tahun mulai terasa sejak awal Agustus. Penjual bendera dan umbul-umbul bersuka cita menyambut panen raya penjualan yang tak seperti biasanya. Begitu juga para penjual bambu dan tongkat. Bahkan, tidak sedikit orang yang menjadi penjual dadakan, demi meraup pundi-pundi keuntungan.
Masyarakat pun tak kalah sibuk mempersiapkan dan menghiasi lingkungan kampungnya agar suasana kemerdekaan semakin semarak. Gapura, pohon, pagar, jalan seluruhnyaya dicat ulang supaya tampak menarik dan segar. Semua aksesoris yang umumnya bernuansa merah-putih itu dikibarkan dengan gagah di halaman rumah, jalan kampung, ataupun jalan raya. Begitu juga berbagai perlombaan juga tak kalah meriah digelar di RW di hampir setiap kampung-kampung.
Hal yang paling menakjubkan dari perayaan dirgarahayu Indonesia bukan pada semarak pesta kemerdekaannya, tapi pada kebersamaan, rasa saling membutuhkan yang terasa lebih hangat khusus di bulan Agustus. Pesta raya Indonesia sendiri dari tahun ke tahun tak pernah ada yang berubah. Pengibaran bendera, upacara peringatan detik-detik proklamasi, bersih-bersih kampung, perlombaan hingga tirakatan menjadi ritual yang wajib dilaksanakan. Seolah tak lengkap jika momen kemerdekaan tanpa adanya ritual tersebut.
Tanpa adanya tekanan atau paksaan, dengan sukarela warga meluangkan waktu, mengeluarkan uang dan tenaga untuk mempersiapkan detik-detik peringatan HUT kemerdekaan dengan penuh suka cita. Tak ada perselisihan apalagi kekerasan semua sepakat momen terbaik untuk peringatan peristiwa bersejarah tersebut mesti meriah. Keberadaan multikulturalisme, pluralisme tampak tak pernah menjadi masalah. Jawa, Sunda, Dayak atau Islam, Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu atau desa, kota, petani, nelayan, guru, hingga pejabat bersatu mempersiapkan selebrasi yang meriah.
Meski kini ada beberapa pihak yang mulai mengkritik ritus komunal yang hanya mengedepankan hura-hura dan simbolik. Namun realitasnya masyarakat umum masih saja tetap melakukannya. Dari semua bentuk formalitas tersebut jangan lupa ada pelajaran berharga yang hanya pada bukan Agustus terjadi, yaitu kesadaran untuk bersatu padu dengan satu visi dan misi seperti halnya pada masa pra kemerdekaan. Pada saat itu keberagaman benar-benar menjadi warna yang indah yang tidak pernah dipisahkan oleh apapun termasuk kesukuan.
Kesadaran dari diri setiap individu merupakan kunci penting untuk membawa Indonesia pada jalan kedamaian sejati. Tanpa kesadaran ini, kita hanya mampu membangun jalan damai semu yang ketika ada percik api kecil, dengan mudahnya membakar rasa persatuan dan kesatuan serta meruntuhkan kerjasama yang telah terbangun.
Kita semua paham bahwa pelangi indah karena keragaman warna. Lukisan menakjubkan juga karena keragaman warna bahkan selebrasi kemerdekaan meriah juga karena keberagaman warna dekor yang digunakan. Permasalahannya adalah pemahaman kita belum berkembang menjadi kesadaran dalam setiap hembusan nafas kita. Pemahaman kita sering menghilang dan datang tergantung pada momen. Pada bulan Agustus pemahaman kita mampu menjelma pada kesadaran karena keterikatan momen kemerdekaan.
Kesadaran akan keterikatan yang kuat pada bulan kemerdekaan ini sejatinya dapat kita manfaatkan untuk membangkitkan semangat nasionalisme, mengelorakan persatuan dengan aksi yang lebih ramah lingkungan dan berjiwa sosial, sehingga bisa dijadikan patokan untuk mengisi kemerdekaan tentunya dengan berbagai kegiatan yang tak hanya simbol formal semata.
Aksi pendistribusian buku ke pelosok negeri oleh organisasi seperti pustaka bergerak, donasi buku, dan nemu buku merupakan satu dari sekian banyak perayaan kemerdekaan yang terasa memiliki nilai kebermanfaatan dan mampu membangkitkan keterikatan di kemudian hari. Gerakan ini memiliki tekad untuk mendistribusikan buku pada mereka yang memiliki keterbatasan akses terhadap pengetahuan. lebih manarik lagi dijadikannya hari kemerdekaan sebagai hari mengirim buku gratis (free cargo literacy) oleh Presiden Jokowi menjadi salah satu komitmen dan dukungan pemerintah untuk melakukan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. kegiatan bertajuk “Indonesia is me” yang diprakasai pengembang properti synthesis development yang memberi ruang bagi korporasi dengan beragam aktivitas untuk memamerkan produk yang memberi inspirasi juga menjadi cara elegan nan bermanfaat untuk merayakan kebebasan Indonesia dari penjajahan.
Dengan memanfaatkan keterikatan momen Agustusan ini tentunya sangat mungkin jika selebrasi hura-hura perlahan digeser dengan sikap kepedulian terhadap sesama sehingga pemerataan dan keadilan dalam pembangunan mampu terwujud. Harapannya dengan memanfaatkan bulan kebanggaan ini mampu menumbuhkan kesadaran atas dasar keterikatan serta menjadi langkah awal untuk membiasakan keterikatan terhadap sesama saudara untuk saling berkerja sama dan berbagi untuk mensukseskan pembangunan negeri. Sistem monopolipun menjadi barang haram di Indonesia sebagaimana diejawantahkan dalam pembukaan UUD 1945. Sehingga yang tersisa hanya sistem kekeluargaan dalam naungan rumah Indonesia.